Ideologi dan Teori Perry
Ideologi berasal dari bahasa Yunani
yang terdiri dari dua kata yaitu edios
yang artinya gagasan atau konsep dan logos yang berarti ilmu. Pengertian
ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan dan kepercayaan
yang menyeluruh dan sistematis. Ideologi merupakan pedoman yang dipakai oleh
seluruh kelompok sebagai dasar cita-cita, nilai dasar dan keyakinan yang
dijunjung tinggi.
Terdapat beberapa pendapat mengenai ideologi,
diantaranya adalah pendapat dari Raymond
William yang menyatakan bahwa ideologi adalah himpunan ide-ide yang muncul
dari seperangkat kepentingan tertentu atau secara lebih luas dari sebuah kelas
atau kelompok tertentu. Sedangkan Karl
Max menyebutkan bahwa adalah Idiologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan
kesejahretaan bersama masyarakat.
Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai
derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan
b. Mewujudkan
suatu asas kerohanian, pandangan dunia, pedoman hidup yang dipelihara,
diamalkan, dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan
dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Fungsi ideologi menurut beberapa pendapat ahli:
a. Sebagai
sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual
(Cahyono, 1986)
b. Sebagai
jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers)
dengan generasi muda (Setiardja, 2001)
c. Sebagai
kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan
bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan (Hidayat, 2001)
Beberapa pemahaman mengenai ideologi tercakup pada
teori Perry.
2.2
Ideologi Pendidikan Matematika
Filsafat Pendidikan Matematika
meliputi beberapa masalah inti pendidikan matematika mengenai ideologi,
landasan, dan tujuannya. Dalam perspektif yang lebih umum, dapat dikatakan
bahwa filosofi pendidikan matematika bertujuan
menjelaskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang status dan dasar
objek dan metode pendidikan matematika.
Ideologi pendidikan matematika
mengemukakan tentang bagaimana pendidikan matematika dapat diimplementasikan
baik secara radikal, konservatif, liberal ,dan demokrasi. Dasar pendidikan
matematika menyediakan pembenaran mendapatkan status dan dasar dalam kasus
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Matematika terdiri dari ide-ide
pemikiran yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan matematika sekolah
lebih menekankan pada Matematika sebagai kegiatan mencari pola dan hubungan.
Matematika adalah kegiatan kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan;
Matematika sebagai sarana pemecahan masalah. Matematika sebagai sarana
mengkomunikasikan informasi atau ide.
2.3
Tujuan Pendidikan Matematika
Tujuan pendidikan matematika harus
konsisten dengan tujuan pendidikan dan harus saling mempengaruhi satu sama
lain. Tujuan pendidikan matematika adalah membantu siswa untuk dapat menyadari,
memahami, menilai, memanfaatkan, dan menerapkan matematika dalam masyarakat
baik kehidupan pribadi , sosial, dan profesional (Niss, 1983, di Ernest, 1991).
Oleh karena itu, kurikulum harus didasarkan pada rancangan untuk membantu siswa
dalam pengembangan diri dan kemandiria dimana kehidupan siswa sebagai titik
awal perencanaan pendidikan; dan aktualisasi pengetahuan adalah bagian dari
rancangan serta perubahan sosial adalah tujuan utama dari kurikulum (Ernest,
1991).
Terkait dengan sumber daya pengajaran, Ernest (1991)
menyarankan bahwa sumber pembelajaran harus bersifat aktif, bervariasi dan
sosial. Sehingga dalam teorinya bahan yang digunakan mempunyai tiga komponen
utama yaitu penyediaan berbagai sumber daya pengajaran dapat memfasilitasi
pendekatan mengajar yang aktif dan bervariasi, penyediaan bahan otentik,
seperti surat kabar, data statistik dan sebagainya yang bersifat sosial yang dapat
dipelajari dan investigasi, dan dapat memfasilitasi siswa untuk belajar
mandiri.
Her Majesty’s Inspectorate (1985)
menyatakan bahwa tujuan mengajar matematika yaitu:
a.
Siswa-siswa harus
memiliki pemahaman dan penghargaan terhadap sesuatu
b.
Matematika merupakan
bagian penting dari komunikasi
c.
Matematika sebagai alat
yang kuat
d.
Terdapat hubungan
antara apresiasi dengan matematika
e.
Sadar akan pentingnya
matematika
f.
Matematika melibatkan
imajinasi, inisiatif, dan pemikiran yang fleksibel.
g.
Bekerja secara
sistematis
h.
Bekerja secara
kooperatif
i.
Siswa-siswa percaya
akan kemampuan matematika mereka
Dalam garis-garis besar program pembelajaran (GBPP)
matematika dewasa ini yang dipakai dikemukakan bahwa tujuan umum diberikannya
matematika dijenjang pendidikan dasar dan pendidikan umum adalah:
• Mempersiapkan siswa agar sanggup
menghadapi perubahan kedalam kemidupan dunia yang selalu berkembang, melalui
latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis. Cermat,
jujur, efektif dan efisien.
• Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan
matematika dan pola piker matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.
Sedangkan
dalam GBPP matematika yang khusus dalam pendidikan dasar yang dewasa ini
dipakai dikemukakan bahwa Tujuan khusus pengajaran matematika disekolah dasar
(SD) adalah:
• Menumbuhkan
dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan) sebagai alat
dalam kehidupan sehari-hari.
• Menumbuhkan
kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan, melalui kegiatan matematika.
• Mengumbangkan
pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di sekolah
lanjutan tingkat pertama (SLTP).
• Membentuk
sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin.
Selanjutnya
tujuan khusus pengajaran matematika di sekolah tingkat lanjutan pertama adalah:
• Memiliki kemampuan siswa, yang dapat
dialihgunakan, melalui kegiatan matematika.
• Memiliki pengetahuan matematika sebagai
bekal untuk melanjutkan ke pendidikan menengah.
• Mempunyai keterampilan matematika sebagai
peningkatan dan perluasan dari matematika sekolah dasar untuk dapat digunakan
dalam kehidupan sehari-hari.
• Mempunyai pandangan yang cukup luas dan
memiliki sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin serta menghargai
kegunaan matematika.
2.4
Pandangan Matematika Netral dan Bebas Nilai
Filsafat
matematika muncul ketika kita meminta pertanggungjawaban akan kebenaran
matematika. Oleh karena itu, filsafat matematika merupakan pandangan yang
memberikan gambaran penting dan menerangkan secara tepat bagaimanakah seseorang
dapat mengerjakan matematika. Perbedaan filsafat matematika yang dianut akan
menyebabkan perbedaan praktik dan hasil pendidikan matematika. Implementasi pendidikan
karakter dalam pendidikan matematika merupakan implikasi dari kesadaran akan
pentingnya refleksi kegiatan matematika melalui kajian matematika dan
pendidikan matematika pada berbagai dimensinya.
Secara
umum diakui bahwa isi dan metode matematika formal, karena hakikatnya, membuat
matematika menjadi abstrak, umum, formal, objektif, rasional, dan teoretis. Ini
adalah hakikat ilmu pengetahuan dan matematika. Dengan pendekatan ini kaum
absolutis membangun matematika formal yang dianggapnya sebagai netral dan bebas
nilai (Shirley, 1986). Hal-hal yang terikat dengan implikasi sosial dan
nilai-nilai yang menyertainya, secara eksplisit, dihilangkannya.
Para
absolutis teguh pendiriannya dalam memandang secara objektif kenetralan
matematika formal. Tetapi dalam kenyataannya, nilai-nilai yang terkandung dalam
hal-hal tersebut di atas, membuat masalah-masalah tidak dapat dipecahkan. Hal
ini disebabkan karena mendasarkan hal-hal yang bersifat formal saja hanya dapat
menjangkau pada pembahasan bagian luar dari matematika itu sendiri. Matematika
yang dipromosikan itu sendiri secara implisit sebetulnya mengandung
nilai-nilai. Abstrak adalah suatu nilai terhadap konkret, formal suatu nilai
terhadap informal, objektif terhadap subjektif, pembenaran terhadap penemuan,
rasionalitas terhadap intuisi, penalaran terhadap emosi, hal-hal umum terhadap
hal-hal khusus, teori terhadap praktik, kerja dengan pikiran terhadap kerja
dengan tangan, dan seterusnya.
Jika
berkehendak menerima kritik yang ada, sebetulnya pandangan mereka tentang
matematika formal yang netral dan bebas nilai juga merupakan suatu nilai yang
melekat pada diri mereka dan sulit untuk dilihat. Kaum social constructivits
memandang bahwa matematika merupakan karya cipta manusia melalui kurun waktu
tertentu. Semua perbedaan pengetahuan yang dihasilkan merupakan kreativitas
manusia yang saling terkait dengan hakikat dan sejarahnya. Akibatnya,
matematika dipandang sebagai suatu ilmu pengetahuan yang terikat dengan budaya
dan nilai penciptanya dalam konteks budayanya.
Sejarah
matematika adalah sejarah pembentukannya, tidak hanya yang berhubungan dengan
pengungkapan kebenaran, tetapi meliputi permasalahan yang muncul, pengertian,
pernyataan, bukti dan teori yang dicipta, yang terkomunikasikan dan mengalami
reformulasi oleh individu-individu atau suatu kelompok dengan berbagai
kepentingannya. Pandangan demikian memberi konsekuensi bahwa sejarah matematika
perlu direvisi. Dengan demikian, pemikiran kaum social constructivist mengarah
kepada kebutuhan matematika material.
Kaum
absolutis berpendapat bahwa suatu penemuan belumlah merupakan matematika dan
matematika modern merupakan hasil yang tak terhindarkan. Namun, bagi kaum
‘social constructivist’ matematika modern bukanlah suatu hasil yang tak
terhindarkan, melainkan merupakan evolusi hasil budaya manusia. Joseph (1987)
menunjukkan betapa banyaknya tradisi dan penelitian pengembangan matematika
berangkat dari pusat peradaban dan kebudayaan manusia. Sejarah matematika perlu
menunjuk matematika, filsafat, keadaan sosial dan politik yang bagaimanakah
yang telah mendorong atau menghambat perkembangan matematika. Sebagai contoh,
Henry dalam Ernest (1991: 34) mengakui bahwa calculus dicipta pada masa
Descartes, tetapi dia tidak suka menyebutkannya karena ketidaksetujuannya terhadap
pendekatan infinitas.
Restivo,
MacKenzie dan Richards dalam Ernest (1991 : 203) menunjukkan betapa kuatnya
hubungan antara matematika dengan keadaan sosial; sejarah sosial matematika
lebih tergantung kepada kedudukan sosial dan kepentingan pelaku dari pada
kepada objektivitas dan kriteria rasionalitasnya. Kaum social constructivist
berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan merupakan karya cipta. Kelompok
ini juga memandang bahwa semua pengetahuan memiliki landasan yang sama, yaitu
‘kesepakatan’. Baik dalam hal asal-usul maupun pembenaran landasannya,
pengetahuan manusia memiliki landasan yang merupakan kesatuan, dan oleh karena
itu semua bidang ilmu pengetahuan manusia saling terikat satu dengan yang lain.
Akibatnya, sesuai dengan pandangan kaum social constructivist, matematika tidak
dapat dikembangkan jika tanpa terkait dengan pengetahuan lain, dan yang secara
bersama-sama memunyai akarnya.
Dengan
sendirinya matematika tidak terbebaskan dari nilai-nilai dari bidang
pengetahuan yang diakui karena masing-masing terhubung olehnya. Karena
matematika terkait dengan semua pengetahuan diri manusia (subjektif), jelaslah
bahwa matematika tidak bersifat netral dan bebas nilai. Dengan demikian
matematika memerlukan landasan sosial bagi perkembangannya (Davis dan Hers
dalam Ernest 1991 : 277-279). Dengan demikian hakikat mempelajari matematika
adalah mempertemukan pengetahuan subjektif dan objektif matematika melalui
interaksi sosial untuk menguji dan merepresentasikan pengetahuan-pengetahuan
baru yang telah diperolehnya.
Di
dalam usahanya untuk memperoleh atau mempelajari pengetahuan objektif
matematika, siswa mungkin perlu mengembangkan prosedur, misalnya : mengikuti
langkah yang dibuat orang lain, membuat langkah secara informal, menentukan
langkah awal, menggunakan langkah yang telah dikembangkan, mendefinisikan
langkah sehingga dapat dipahami orang lain, membandingkan berbagai langkah, dan
menyesuaikan langkah.
Melalui
langkah-langkah demikian, siswa akan memperoleh konsep matematika yang telah
teraktualisasi dalam dirinya sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan
matematikanya bersifat subjektif. Namun, dalam beberapa hal, pengetahuan
subjektif matematikanya belum tentu sesuai dengan pengetahuan objektifnya.
Untuk mengetahui apakah pengetahuan subjektif matematikanya telah sesuai dengan
pengetahuan objektifnya, siswa perlu diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan
publikasi.
Kegiatan
publikasi matematika dalam praktiknya dapat berupa tugas-tugas yang diberikan
oleh guru, pekerjaan rumah, membuat makalah, atau pun mengikuti ujian.
Interaksi sosial di antara para siswa dan guru akan dapat memberikan kegiatan
kritisisasi untuk pembetulan konsep-konsep sehingga siswa akan memperoleh
perbaikan konsep, dan akhirnya pengetahuan subjektif matematikanya telah sama
dengan pengetahuan objektifnya. Hubungan antara pengetahuan objektif dan
pengetahuan subjektif matematika dan langkah-langkah implementasi pendidikan
karakter dalam pendidikan matematika dapat diturunkan dari konsep yang
diadaptasi dari Ernest.P (1991) sebagai berikut.
Bebas
nilai merupakan salah satu tema yang terus diperdebatkan dalam filsafat ilmu.
Bila diawal perkembangannya, terdapat hubungan yang erat antara teori dan
praxis (mempertautkan pengetahuan dan kepentingan), paham ini kemudian secara
perlahan mulai tergeser, dengan munculnya kajian-kajian dari perspektif
filsafat yang mendasarkan dirinya pada rasionalitas dan empirisme.
Para
absolutis teguh pendiriannya dalam memandang secara objektif kenetralan
matematika, walaupun matematika yang dipromosikan itu sendiri secara implisit
mengandung nilai-nilai. Abstrak adalah suatu nilai terhadap konkrit, formal
suatu nilai terhadap informal, objektif terhadap subjektif, pembenaran terhadap
penemuan, rasionalitas terhadap intuisi, penalaran terhadap emosi, hal-hal umum
terhadap hal-hal khusus, teori terhadap praktik, kerja dengan fikiran terhadap
kerja dengan tangan, dan seterusnya. Setelah mendaftar macam-macam nilai di
atas maka pertanyaannya adalah, bagaimana matematisi berpendapat bahwa
matematika adalah netral dan bebas nilai ? Jawaban dari kaum absolutis adalah
bahwa nilai yang mereka maksud adalah nilai yang melekat pada diri mereka yang
berupa kultur, jadi bukan nilai yang melekat secara implisist pada matematika.
Diakui bahwa isi dan metode matematika, karena hakekatnya, membuat matematika
menjadi abstrak, umum, formal, obyektif, rasional, dan teoritis. Ini adalah
hakekat ilmu pengetahuan dan matematika. Tidak ada yang salah bagi yang
kongkrit, informal, subyektif, khusus, atau penemuan; mereka hanya tidak
termasuk dalam sains, dan tentunya tidak termasuk di dalam matematika (Popper,
1979 dalam Ernest, 1991: 132).
Yang
ingin ditandaskan di sini adalah bahwa pandangan kaum absolutis, secara sadar
maupun tak sadar, telah merasuk ke dalam matematika melalui definisi-definisi.
Dengan perkataan lain, kaum absolutis berpendapat bahwa segala sesuatu yang
sesuai dengan nilai-nilai di atas dapat diterima dan yang tidak sesuai tidak
dapat diterima. Pernyataan-pernyataan matematika dan bukti-buktinya, yang
merupakan hasil dari matematika formal, dipandang dapat melegitimasikan
matematika. Sementara, penemuan-penemuan matematika, hasil kerja para
matematisi dan proses yang bersifat informal dipandang tidak demikian. Dengan
pendekatan ini kaum absolutis membangun matematika yang dianggapnya sebagai
netral dan bebas nilai. Dengan pendekatan ini mereka menetapkan kriteria apa
yang dapat diterima dan tidak diterima. Hal-hal yang terikat dengan implikasi
sosial dan nilai-nilai yang menyertainya, secara eksplisit, dihilangkannya.
Tetapi dalam kenyataannya, nilai-nilai yang terkandung dalam hal-hal tersebut
di atas, membuat masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan. Hal ini
disebabkan karena mendasarkan pada hal-hal yang bersifat formal saja hanya
dapat menjangkau pada pembahasan bagian luar dari matematika itu sendiri.
Jika
mereka berkehendak menerima kritik yang ada, sebetulnya pandangan mereka
tentang matematika yang netral dan bebas nilai juga merupakan suatu nilai yang
melekat pada diri mereka dan sulit untuk dilihatnya. Dengan demikian akan
muncul pertanyaan berikutnya, siapa yang tertarik dengan pendapatnya ? Inggris
dan negara-negara Barat pada umumnya, diperintah oleh kaum laki-laki berkulit
putih dari kelas atas. Keadaan demikian mempengaruhi struktur sosial para
matematisi di kampus-kampus suatu Universitas, yang kebanyakan didominasi oleh
mereka. Nilai-nilai mereka secara sadar dan tak sadar terjabarkan dalam pengembangan
matematika sebagai bagian dari usaha dominasi sosial. Oleh karena itu agak
janggal kiranya bahwa matematika bersifat netral dan bebas nilai, sementara
matematika telah menjadi alat suatu kelompok sosial. Mereka mengunggulkan pria
di atas wanita, kulit putih di atas kulit hitam, masyarakat strata menengah di
atas strata bawah, untuk kriteria keberhasilan penguasaan pencapaian akademik
matematikanya.
Suatu
kritik mengatakan, untuk suatu kelompok tertentu, misalnya kelompok kulit putih
dari strata atas, mungkin dapat dianggap matematika sebagai netral dan bebas
nilai. Namun kritik demikian menghadapi beberapa masalah. Pertama, terdapat
premis bahwa matematika bersifat netral. Kedua, terdapat pandangan yang
tersembunyi bahwa pengajaran matematika juga dianggap netral. Di muka telah
ditunjukkan bahwa setiap pembelajaran adalah terikat dengan nilai-nilai.
Ketiga, ada anggapan bahwa keterlibatan berbagai kelompok masyarakat beserta
nilainya dalam matematika adalah konsekuensi logisnya. Dan yang terakhir, sejarah
menunjukkan bahwa matematika pernah merupakan alat suatu kelompok masyarakat
tertentu.
2.5
Pandangan Matematika Nilai Laden dan Kultur-Bound
Kaum ‘social constructivits’ memandang bahwa
matematika merupakan karya cipta manusia melalui kurun waktu tertentu. Semua
perbedaan pengetahuan yang dihasilkan merupakan kreativitas manusia yang saling
terkait dengan hakekat dan sejarahnya. Akibatnya, matematika dipandang sebagai
suatu ilmu pengetahuan yang terikat dengan budaya dan nilai penciptanya dalam
konteks budayanya.Sejarah matematika adalah sejarah pembentukannya, tidak hanya
yang berhubungan dengan pengungkapan kebenaran, tetapi meliputi permasalahan
yang muncul, pengertian, pernyataan, bukti dan teori yang dicipta, yang
terkomunikasikan dan mengalami reformulasi oleh individu-individu atau suatu
kelompok dengan berbagai kepentingannya. Pandangan demikian memberi konsekuensi
bahwa sejarah matematika perlu direvisi.
Kaum absolutis berpendapat bahwa suatu penemuan
belumlah merupakan matematika dan matematika modern merupakan hasil yang tak
terhindarkan. Ini perlu pembetulan. Bagi kaum ‘social constructivist’
matematika modern bukanlah suatu hasil yang tak terhindarkan, melainkan
merupakan evolusi hasil budaya manusia. Joseph (1987) menunjukkan betapa banyaknya
tradisi dan penelitian pengembangan matematika berangkat dari pusat peradaban
dan kebudayaan manusia. Sejarah matematika perlu menunjuk matematika, filsafat,
keadaan sosial dan politik yang bagaimana yang telah mendorong atau menghambat
perkembangan matematika. Sebagai contoh, Henry (1971) dalam Ernest (1991: 34)
mengakui bahwa calculus dicipta pada masa Descartes, tetapi dia tidak suka
menyebutkannya karena ketidaksetujuannya terhadap pendekatan infinitas. Restivo
(1985:40), MacKenzie (1981: 53) dan Richards (1980, 1989) dalam Ernest (1991 :
203) menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara matematika dengan keadaan
sosial; sejarah sosial matematika lebih tergantung kepada kedudukan sosial dan
kepentingan pelaku dari pada kepada obyektivitas dan kriteria rasionalitasnya.
Kaum ‘social constructivist’ berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan
merupakan karya cipta. Kelompok ini juga memandang bahwa semua pengetahuan
mempunyai landasan yang sama yaitu ‘kesepakatan’. Baik dalam hal asal-usul
maupun pembenaran landasannya, pengetahuan manusia mempunyai landasan yang
merupakan kesatuan, dan oleh karena itu semua bidang ilmu pengetahuan manusia
saling terikat satu dengan yang lain. Akibatnya, sesuai dengan pandangan kaum
‘social constructivist’, matematika tidak dapat dikembangkan jika tanpa terkait
dengan pengetahuan lain, dan yang secara bersama-sama mempunyai akarnya, yang
dengan sendirinya tidak terbebaskan dari nilai-nilai dari bidang pengetahuan
yang diakuinya, karena masing-masing terhubung olehnya.
Karena matematika terkait dengan semua pengetahuan
dari diri manusia, maka jelaslah bahwa matematika tidaklah bersifat netral dan
bebas nilai. Dengan demikian matematika memerlukan landasan sosial bagi
perkembangannya (Davis dan Hers, 1988: 70 dalam Ernest 1991 : 277-279). Shirley
(1986: 34) menjelaskan bahwa matematika dapat digolongkan menjadi formal dan
informal, terapan dan murni. Berdasarkan pembagian ini, kita dapat membagi
kegiatan matematika menjadi 4 (empat) macam, di mana masing-masing mempunyai
ciri yang berbeda-beda:
a.
matematika formal-murni, termasuk matematika yang dikembangkan pada Universitas
dan matematika yang diajarkan di sekolah;
b.
matematika formal-terapan, yaitu yang dikembangkan dalam pendidikan maupun di
luar, seperti seorang ahli statistik yang bekerja di industri.
c.
matematika informal-murni, yaitu matematika yang dikembangkan di luar institusi
kependidikan; mungkin melekat pada budaya matematika murni.
d.
matematika informal-terapan, yaitu matematika yang digunakan dalam segala kehidupan
sehari-hari, termasuk kerajinan, kerja kantor dan perdagangan.
Dowling dalam Ernest (1991: 93), berdasar
rekomendasi dari Foucault dan Bernstein, mengembangkan berbagai macam konteks
kegiatan matematika. Dia membagi satu dimensi model menjadi 4 (empat) macam
yaitu : Production (kreativitas), Recontextualization (pandangan guru dan
dasar-dasar kependidikan), Reproduction (kegiatan di kelas) dan
Operationalization (penggunaan matematika). Dimensi kedua dari pengembangannya
memuat 4 (empat) macam yaoitu: Academic (pada pendidikan tinggi), School
(konteks sekolah), Work (kerja) dan Popular (konsumen dan masyarakat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar