Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME)
mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika
di Belanda yang dirasakan kurang bermakna
bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffre
(1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai
sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika. Menurut
pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan
pengalaman anak dan relevan terhadap
masyarakat, dengan tujuan menjadi
bagian dari nilai kemanusiaan. Selain
memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal menekankan ide
matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran matematika harus
memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk “dibimbing” dan “menemukan
kembali” matematika dengan melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran
utama matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus
pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Freudental,1968).
Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit
merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe matematisasi dalam konteks pendidikan,
yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal siswa
diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di pihak lain
merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan
hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi
dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah
nyata menuju ranah simbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah
simbol. Kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan
sama nilainya (Freudenthal, 1991).
Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang
berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya bukan berhubungan dengan
kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini ternyata akan
lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi tidak selamanya
harus melalui cara itu.
Berdasarkan
matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam matematika dapat
dibedakan menjadi empat yaitu, mekanistik, empiristik, struturalistik, dan
realistik.
Pendekatan
mekanistik merupakan pendekatan tradisonal dan didasarkan pada apa yang
diketahui dari pengalamn sendiri (diawali dari yang lebih sederhana sampai ke
kompleks) dalam pendekatan ini siswa dianggap sebagai mesin.
Pendekatan
empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep – konsep matematika tidak
diajarkan dan diharapkan siswa mampu menemukan melalui matematika horizontal.
Pendekatan mekanis dan empiris tidak banyak diajarkan di lingkungan sekolah.
Pendekatan
strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya
pengajaran penjumlahan cara panjang yang perlu didahului dengan nilai tempat,
sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
Pendekatan
realistik merupan pendekatan dengan menggunakan metode matematisasi horizontal
dan vertikal dan mendekatan ini sebagai pangkal tolak pembelajaran.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran matematika realistik adalah metode pembelajaran matematika sekolah
yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai
titik awal pembelajaran. Selanjutnya siswa diberi kesempatan mengpalikasikan
konsep – konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari – hari atau dalam
bidang yang lainnya. Pembelajaran ini sengat berbeda dengan pembelajaran
matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan
memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah.
Ada tiga unsur prinsip utama
dalam pembelajaran Matematika realistik yaitu : a) guided reinvention and
progresive mathematizing , b) didactical phenomenology dan c) self – developed
models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Guided
reinvention and progresive mathematizing (penemuan kembali terbimbing /
pematematikaan progresif)
Prinsip
ini menghendaki bahwa dalam Pembelajaran Matematika realistik, dari masalah
konstektual yang diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam
menyelasaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga
siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat – sifat dan
rumus – rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat – sifat dan
rumus – rumus itu ditemukan. Prinsip ini mengacu pada pandangan
konstruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau
diajarkan melalui pemberitahuan dari guru, melainkan dari siswa sendiri.
2. Didactical phennomenology (fenomena
pembelajaran)
Prinsip
ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa
di dalam menentukan masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran
dengan pendekatan metode pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua
alasan, yaitu : a) untuk mengungkap berbagai macam aplikasi suatu topik yang
harus diantisipasi dalam pembelajaran, b) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya
masalah konstektual itu digunakan sebagai poin – poin untuk suatu proses
pematematikaan progresif. Dari penjabaran di atas menunjukan bahwa prinsip ke 2
Pembelajaran matematika Realistik ini menekankan pada pentingnya masalah
konstektual untuk memperkenalkan topik – topik matematika kepada siswa.
3. Self
development models ( model – model dibangun sendiri)
Menurut prinsip ketiga, model –
model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan pengetahuan informal dan formal
matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa diberi kebebasan untuk menemukan
sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai
konsekuensinya sangat dimungkinkan mucul berbagai model matematika yang
dibangun siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan
masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari penemuan ulang dan
sekaligus menunjukan bahwa sifat bottom up( dari bawah ke atas) mulai terjadi.
Model – model tersebut diharapkan untuk mampu mengubah kepada bentuk matematika
yang formal.
Pembelajaran
Matematika Realistis mencerminkan pandangan matematika tertentu mengenai
bagaimana anak belajar matematika dan bagiamana matematika harus diajarkan. Pandangan
ini tercermin dalam enam karakteristik yaitu : kegiatan, nyata, bertahap,
saling menjalin, interaksi, dan bimbingan.
1.
Kegiatan
Peserta didik harus diperlakukan
sebagai partisipan aktif dalam proses pengembangan seluruh perangkat perkakas
dan wawasan matematis sendiri. Dalam hal ini peserta didik dihadapkan dalam
situasi masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian – bagian masalah tersebut
dan dikembangkan secara bertahap
2.
Nyata (kontekstual)
Matematika realistis harus
memungkinkan peserta didik dapat menerapkan pemahaman matematika dan perkakas
/alat matematikannya untuk memecahkan masalah. Hanya dalam pemecahan masalah
peserta didik dapat mengembangkan alat matematis dan pemahaman matematis.
3.
Bertahap
Belajar matematika artinya peserta
didik harus melalui berbagai tahapan
pemahaman, yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal yang
berhubungan dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap hubungan langsung
dan pembuatan bagan.
4.
Saling menjalin (keterkaitan)
Hal ini ditemukan pada setiap jalur
matematika, misalnya antar topik – topik seperti kesadaran akan bilangan, mental
aritmetika, perkiraan (estimasi) dan algoritma.
5.
Interaksi
Dalam matematika realistik belajar
matematika dipandang sebagai kegiatan sosial. Pendidikan harus dapat memberikan
kesempatan bagi para peserta didik untuk saling berbagi dan strategi dan penemuan
mereka. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan
temuan ini, peserta didik mendapat ide untuk memperbaiki strateginya.
6.
Bimbingan
Pengajar
maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting dalam mengarahkan
peserta didik untuk memperoleh pengetahuan. Mereka mengendalikan proses
pembelajaran yang lentur untuk menunjukkan apa yang harus dipelajari untuk
menghindarkan pemahaman semu melalui proses hafalan.
Sebelum
melaksanakan pembelajaran dengan metode Matematika realistik tentu saja
terlebih dahulu guru harus membuat desain pembelajarannya, sebagai pedoman umum
sekaligus sebagai alat control dalam pelaksanannya. Pada intinya komponen
pembelajaran matematika realistik dapat dilakukan dengan langkah – langkah
berikut :
1. Langkah pertama :
Memahami masalah kontekstual, yaitu
guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari – hari dan meminta
siswa untuk memahami masalah tersebut.
2. Langkah kedua
Menjelaskan masalah kontekstual yaitu
jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru akan
menjelaskan situasi dan kondisi sosial dengan cara meberikan petunjuk –
petunjuk yang seperlunya saja.
3. Langkah ketiga
Menyelesaikan masalah kontekstual,
yaitu siswa secara individu atau kelompok mampu menyelesaikan masalah
kontekstual dengan cara mereka masing – masing. Cara pemecahan masalah yang
berbeda – beda lebih di utamakan .
4. Langkah keempat
Membandingkan dan mendiskusikan
jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk
membandingkan jawaban dari permasalahan kontekstual secara berkelompok. Siswa
dilatih untuk mengeluarkan ide – ide yang dimiliki.
5. Langkah kelima
Menyimpulkan,
yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang
suatu konsep atau prosedur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar