Tema
pada bab sebelumnya membahas asumsi dimana
matematika memiliki struktur
hirarki tetap yang unik. Analogi dari
tesis ini mencakup asumsi dimana
pembelajaran matematika disusun
dengan cara terbaik, dalam arti kemampuan matematika yang
terstruktur dan masyarakat memiliki struktur hirarki yang tetap terkait dengan
bidang pendidikan yang ditunjukkan.
Berikut ini asumsi-asumsi yang berkaitan dengan arti penting masyarakat dan pendidikan.
A.
Apakah matematika memiliki struktur
hirarki yang unik ?
Pertanyaan ini dapat dianalisis
dalam dua bagian, berkaitan dengan keberadaan
dan keunikan struktur hirarki
untuk matematika. Sehingga, ada dua
pertanyaan yang diajukan yakni: apakah
struktur hirarki pengetahuan matematika yang menyeluruh
ada? Dan jika demikian, apakah
struktur hirarki tersebut tetap dan unik?
Hirarki dapat didefenisikan sebagai
badan pengetahuan matematis dengan struktur menyeluruh. Apakah hal tersebut
dikatakan sebagai struktur aksiomatik berdasarkan
atas axiom dan aturan penarikan
kesimpulan, atau struktur defenisi
berdasarkan ketentuan primitif dan defenisi lainnya, yang kemudian hirarki
tersebut dijelaskan sebagai berikut. Ungkapan primitif mengenai hirarki
(istilah axiom atau primitif)
terdiri dari tingkat yang paling
rendah (0). Ungkapan E lainnya dalam struktur tersebut
dapat dicapai dengan jumlah minimum n
dari aturan aplikasi (aturan kesimpulan atau defenisi) dari ungkapan tingkat 0. Jumlah n mendefenisikan tingkat ungkapan E dalam hirarki tersebut. Dengan
demikian, setiap ungkapan tersebut
dibuat pada tingkat unik
dalam hirarki. Karenanya, pengetahuan matematika dapat
diberikan dalam bentuk hirarki
besar yang menyatakan bahwa hal tersebut
menggantikan sistem atau struktur
matematika tertentu, yang dihubungkan dengan kesimpulan atau hubungan definisi.
Hubungan inferensial yang dimaksud perlu dipertimbangkan karena hal
tersebut menunjukkan hubungan pembenaran antara ketentuan matematika dan
rumusan yang ada dan menjelaskan struktur tentang teori aksiomatik deduktif.
Dengan menggunakan defenisi tingkat
formal, informal dan wacana sosial tentang matematika, selanjutnya kami
menemukan teori matematika yang lebih formal dan kemudian hirarki tersebut
dapat dijelaskan. Terkait dengan hasil kajian matematika yang tidak formal, hal
ini tidak memungkinkan. Untuk aksiomatik, dasar tersebut tidak ditentukan
sepenuhnya, dan hubungan logika antara ketentuan matematika informal
tidak dapat dibuat dengan baik.
Pada bagian selanjutnya, kami hanya berfokus pada teori matematika
formal, atau teori matematika informal yang siap dirumuskan. Untuk tujuan lain,
ketentuan untuk menetapkan hirarki tersebut tidak terpenuhi.
Sekarang, kami siap ditanya mengenai
kedua pertanyaan tersebut. Pertama, apakah struktur hirarki menyeluruh tentang
pengetahuan matematika ada? Kami melihat bahwa untuk teori matematika formal
dengan rangkaian axiom yang tetap ditemukan ada struktur hirarki. Pilihan
terhadap rangkaian axiom tersebut, sejalan dengan spesifikasi aturan kesimpulan
dan bahasa formal latar belakang yang
menentukan teori matematika hirarki. Namun, matematika terdiri dari beberapa
teori yang berbeda, dan banyak diantaranya yang memiilki rumusan aksiomatik yang
berbeda. Teori rangkaian aksiomatik memiliki jumlah aksiomasi yang berbeda seperti teori Zermelo-Eranekel Set dan Teori
Godel-Bernays-von Neumann (Kneebone,
1963). Diluar teori ini, banyak ahli matematika selanjutnya membedakan teori aksiomatik set yang mereka pelajari
dengan mengunakan aksioma-aksioma lebih lanjut (Jech, 1971,
Maddy, 984).
Hasilnya, tidak ada struktur
menyeluruh terhadap matematika formal, karena hal tersebut terbuat dari
rangkaian teori-teori dan formulasi teori yang berbeda, dan masing-masing
memiliki hirarki dan susunan tersendiri. Selanjutnya, menurut dalil Godel
(1931), tidak satupun teori aksiomatik tersebut yang tidak lengkap. Dalam hal ini, ada kebenaran teori yang tidak
ditemukan dalam hirarki deduktif. Seperti yang kita lihat pada bab sebelumnya,
usaha-usaha yang dilakukan oleh ahli matematika pada abad ini untuk menetapkan
pengetahuan matematika dalam sistem fundasi tunggal dimana semua ahli logistic, formalistic atau lembaga gagal melakukannya. Karenanya, hasil meta-matematika memaksa kami mengetahui bahwa matematika terdiri dari beberapa teori yang berbeda, dan tidak dapat dikurangi menjadi
sistem tunggal, dan tidak ada
yang dianggap cukup untuk menjelaskan semua kebenaran bahkan dalam domain aplikasi yang terbatas.
Hal ini menjelaskan bahwa pertanyaan
mengenai keberadaan hirarki matematika secara menyeluruh pasti dijawab dengan
cara negatif. Hal ini tidak dapat
dibantah lagi. Namun, kita sebaiknya lebih adil lagi untuk mempertimbangkan
pertanyaan yang lebih lemah. Apakah struktur matematika informal
yang besar dan baik tersebut ada, bahkan jika hal itu gagal
memenuhi kriteria yang diperlukan untuk
menghasilkan susunan ganda terhadap matematika? Struktur tersebut dapat
ditemukan dalam elemen-elemen Bourbaki(Kneebone, 1963). Bourbaki melengkapi pertimbangan sistemik
tentang matematika, mulai dengan teori rangkaian, dan berkembang ke teori murni
lainnya, yaitu matematika terstruktur. Walaupun struktur Bourbaki dianggap tidak lengkap (dalam arti
informal), karena menunjukkan perhitungan dan aspek lainnya untuk bidang
matematika, maka hal ini
menghadirkan kodifikasi informal
terkait dengan porsi substansial bidang matematika. Apakah hal ini melengkapi jawaban yang jelas
terhadap pertanyaan yang lemah? Jika kita mengatakan memang demikian adanya,
maka aturan berikut perlu diingat.
- Porsi
signifikan untuk pengetahuan matematika dihilangkan.
- Sistem
tersebut tidak didefenisikan secara formal untuk membuat hirarki tetap dan
hasil dari pengetahuan matematika.
- Sistem
menyeluruh tergantung pada asumsi teori rangkaian klasik
sebagai dasar matematika.
- Sistem
menyeluruh yang terikat terhadap budaya, menunjukkan strukturalisme pada pertengahan
abad dua puluh.
Dengan
demikian, hanya dalam bentuk yang sangat lemah, kita dapat menyatakan adanya
struktur menyeluruh terhadap bagian matematika yang penting.
Pertanyaan
kedua adalah sebagai berikut. Diberikan asumsi bahwa ada struktur menyeluruh terhadap pengetahuan matematika. Apakah hal ini
merupakan struktur yang unik dan
tetap sebagai dasar dari hirarki ?
Pertanyaan ini juga memiliki dua bagian. Yang pertama berkaitan dengan keunikan
struktur matematika. Yang kedua
berkaitan dengan defenisi hirarki tetap
dalam kaitannya dengan struktur yang ada. Kami melihat bahwa bagian
kedua ini tidak dapat
dipertahankan. Bahkan jika struktur tersebut dilengkapi dengan Bourbaki dengan keunikan yang ada, ini merupakan hal informal dan tidak
cukup untuk defenisi tetap
mengenai hirarki. Dalam arti yang jelas, kami menyatakan bahwa dalam hal ini tidak
ada hirarki yang unik terhadap matematika.
Mari kita kembali ke
bagian keunikan struktur matematika.
Keunikan tersebut tergantung pada kesepakatan mengenai dasar-dasar
matematika. Bourbaki mengasumsikan
dasar-dasar rangkaian teoritis. Dengan
mengabaikan perbedaan teori yang ada, apakah dapat dikatakan bahwa teori
tersebut melengkapi dasar-dasar unik yang disepakati secara universal
untuk matematika? Pertanyaan
yang demikian pasti dijawab dengan cara negatif.
Kami sudah melihat bahwa
para pendiri menyatakan bahwa matematika
yang terletak pada fundasi
yang unik ternyata gagal. Dalam hal ini setidaknya ada dua pilihan
terhadap rangkaian dasar-dasar
teoritis untuk matematika. Pertama-tama,
dinyatakan bahwa teori Category
dapat melengkapi dasar pilihan terhadap
matematika, yakni teori
rangkaian (Lawvere, 1966).
Pandangan ini belum sepenuhnya dibenarkan, namun tidak menggantikan tantangan terhadap keuniukan dasar-dasar
rangkaian teoritis. Dalam hal
ini juga ada cabang teori kategori
(teori Topos) dalam hal logika instuionist dan klasik dapat
dikurangi (Bell, 1981).
Karena teori rangkaian
aksiomatik dapat dinyatakan dalam logika klasik
urutan pertama, maka hal tersebut selanjutnya dapat dikurangi untuk
teori kategori.
Kedua
instuisi yang masuk akal memberikan dasar untuk matematika. Walaupun tidak
semua matematika klasik dalam hal
dasar ini, banyak program instuisi sudah diterapkan untuk menganalisis , oleh uskup (1967) dan
lain-lain. Selanjutnya intuisi yang masuk akal berisi tentang
penggabungan matematika, tidak seperti dasar penetapan teori pada matematika
klasik. Demikianlah didasar ini ada 2 pendapat,
yaitu tuntutan untuk membantah struktur matematika yang
unik.
Faktanya, sejarah matematika mengajarkan kita pelajaran yang
berlawanan. Seluruhnya perkembangan
matematika itu berubah melalui dasar penyusunan kembali konsep
matematika, teori dan pengetahuan (Lakatos, 1976). Jadi meskipun struktur
memainkan peran sentral dan mengatur pengetahuan matematika, mereka adalah
beberapa struktur yang mengatasi dan memperbaiki selama perjalanan waktu. Tidak ada alasan
untuk menduga bahwa teori-teori
alternatif dan formulasi akan pernah habis. Pandangan
semacam itu merupakan pusat costructivisim sosial, dan filsafat lain yang
mengakui matematika sebagai dasar sejarah. Jadi tidak hanya itu benar bahwa
pada satu waktu matematika dapat dijelaskan oleh struktur hirarkis tunggal yang
unik, tetapi juga dari waktu ke waktu apa struktur yang hadir berubah dan
berkembang.
Dalam menyangkal klaim bahwa matematika memiliki struktur
hirarkis yang unik, perhatian larangan yang telah dibatasi secara masuk akal,
itu adalah struktur deduktif dari teori matematika. Sebagaimana telah kita
lihat hierarki dapat didefinisikan dengan cara lain, yang paling menonjol,
memiliki hirarki istilah dan definisi. Meskipun hal ini hampir tidak signifikan
dalam matematika sebagai struktur deduktif, argumen yang sama dapat
ditransposisikan dalam bidang ini. Untuk
struktur deduktif teori apapun disertai dengan definisi hirarki, dan hampir
sebanyak struktur definisi yang ada deduktif. Jadi tidak ada definisi hirarki
yang unik. Untuk lebih lanjut, hierarki global digunakan dalam matematika. Dalam teori individul atau domain beberapa hierarki
tentu memang ada, seperti derajat turing (dari unsolvability) dalam teori
rekursi (lonceng dan machover, 1977). Tapi ini bukan dalam struktur satu pun
pecahan yang signifikan pengetahuan
matematika. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa matematika unequaivocally tidak
memiliki struktur hirarki secara keseluruhan, dan tentu bukan satu yang unik,
bahkan ketika menduga itu ditafsirkan
murah hati dan longgar.
Apakah matematika seperangkat komponen pengetahuan
diskrit?
Ada anggapan lebih
lanjut mengenai dalam sifat dan struktur pengetahuan matematika yang layak
impor pemeriksaan karena pendidikannya. Ini adalah asumsi bahwa matematika
dapat dianalisa menjadi komponen-komponen pengetahuan diskrit, jumlah tidak
terstruktur (atau lebih tepatnya set) yang lebih tepatnya merupakan disiplin.
Anggapan ini mensyaratkan bahwa
proposisi matematika adalah pembawa independen makna dan signifikansi.
Membedakan antara formal, informal dan wacana matematika
sosial, jelas bahwa tuduhan ini yang
terbaik dibuat untuk matematika formal. Selama dua domain lainnya
mengandaikan makna konteks, seperti yang akan dikatakan di bawah ini. Karena struktur adalah salah satu ciri pengetahuan
matematika, tuduhan ini juga dapat
beristirahat dianggap yang tidak beralasan bahwa ada struktur yang unik untuk
matematika. Hal ini mungkin diperlukan agar ketika diskrit 'molekul'
pengetahuan adalah rekombinasi, tetap dan ditentukan seluruh (tubuh pengetahuan
matematika) hasil: kami telah membuang anggapan
kedua di atas. Namun, perkiraan bahwa
proposisi matematika adalah pembawa
makna bebas dan signifikansi juga gagal. Pertama-tama, ekspresi
matematika formal maknanya berasal dari teori aksiomatik atau sistem formal di
mana mereka muncul. Tanpa konteks ini mereka kehilangan beberapa signifikansi
mereka, dan struktur yang dikenakan oleh teori kegagalan. Kedua, ekspresi matematika formal secara tegas makna semantik
mereka dari kelas interpretasi atau interpretasi yang dimaksudkan terkait
dengan teori formal diberikan dan bahasa. semantik tersebut telah menjadi
bagian standar yang masuk akal secara resmi sejak Tarski (1936). bangsa ini
telah diperpanjang untuk perawatan teori-teori ilmiah secara resmi oleh sneed
(1971), yang menambahkan kelas penafsiran dimaksudkan untuk struktur secara
resmi dari teori. Jadi perbedaan ungkapan matematika ke bagian
terisolasi dan diskrit menyangkal mereka banyak signifikansi mereka dan semua
makna semantik. ungkapan tersebut akibatnya
memiliki sedikit tuduhan dianggap sebagai komponen "molekul"
pengetahuan matematika.
Bahkan lebih daripada di atas, ungkapan matematika informal
wacana memiliki makna yang tersirat berkaitan dengan latar belakang teori dan
konteks keseluruhan. Untuk aturan dan makna yang mengatur ekspresi seperti
tidak memiliki ketentuan formal tepat, tetapi lebih bergantung pada aturan
implicit/mutlak penggunaan (Wittgenstein, 1955). Model semantik bahasa baik
formal dan informal semakin menarik konteks ujaran (barwise dan perry, 1982).
Apakah diekspresikan dalam bahasa formal atau informal, ekspresi matematika
tidak dapat dianggap sebagai berdiri sendiri, makna bebas. Jadi matematika tidak dapat diwakili
hanya sebagai satu set 'molekul' proposisi, karena ini tidak mewakili hubungan
struktural antara proposisi, serta kehilangan maknanya tergantung pada konteks.
II.
Investigasi,
Pemecahan Masalah, dan Pedagogi
Bab 13 dalam buku The Philosophy of
Mathematics Education berjudul Investigation, Problem Solving and Pedagogy membahas
tentang inkuiri sebagai salah satu pendekatan dalam pengajaran matematika.
Pemecahan masalah ( problem solving ) sendiri dipakai dalam kurikulum
pendidikan matematika Indonesia, terlihat dari salah satu poin tujuan
pembelajaran matematika sekolah yakni memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep danmengaplikasikan konsep atau algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
ISI BUKU THE
PHILOSOPHY OF MATHEMATICS EDUCATION,CHAPTER 13:
INVESTIGATION,
PROBLEM SOLVING AND PEDAGOGY
1. Matematika sebagai Hasil Pengajuan dan Pemecahan
Masalah Manusia
Di awal bab, Ernest menyebutkan
beberapa pendapat ahli terkaitpembahasan
masalah. Seperti pendapat Laudan bahwa pemecahan masalah akanmenjadi
karakteristik penting dari metodologi ilmiah asalkan terjadi dalam konteks
tertentu memungkinkan diskusi kritis. Ernest juga mengutip Hallett yang
mengusulkan bahwa masalah harus memainkan peran kunci dalam evaluasi teori
matematika. Lebih lanjut, bagi Hallett, teori-teori dan penelitian
dalammatematika harus dilihat dari kacamata pragmatis dengan pertanyaan sejauhmana
mereka membantu pemecahan masalah. Pendekatan ini mengakui pentingnya masalah
dalam kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi lebih fokus pada “Pembenaran” dari pada
penciptaan teori. Pendapat ini ditentang oleh Popper dengan yang
lebih tidak memandang remeh arti penemuan dan pengembangan teori.
Ernest
juga menyebutkan bahwa logika deduktif sebagai ciri yang paling menonjol
dari matematika, akhirnya berkembang dan makin menonjol seiring dengan
munculnya teorema-teorema dan pembuktian. Pemakalah menangkap bahwa Ernest menonjolkan
sisi logika deduktif matematika ini karena baginya matematika yang berawal dari
pemecahan masalah sebagai matematika kontekstual, nampak bertolak belakang
dengan konsep tradisional matematika tersebut. Selanjutnya Ernest menceritakan
sejarah metode ilmiah dari sejak era Renaissance sampai dapat berdiri mapan
seperti sekarang. Berikut tokoh yang dianggap penting oleh Ernest:
1. Bacon
mengusulkan metode induksi untuk sampai pada hipotesis, dimana hipotesis ini
kemudian menjadi sasaran pengujian. Dalam rangka memfasilitasi usul hipotesis
induktif, ia mengusulkan pembangunan tabel sistematis yang akan menunjukkan
persamaan dan perbedaan dari hal yangditeliti.
2. Descartes
mengusulkan prosedur lanjut, yang secara eksplisit makin menujuke arah penemuan
matematika. Termasuk di dalamnya adalah penyederhanaan pertanyaan, pencacahan
berurutan, pemunculan contoh-contoh untuk memfasilitasi generalisasi induktif,
penggunaan diagram untuk membantu pemahaman, simbolisasi hubungan,
representasi hubungan dengan persamaan aljabar, dan penyederhanaan persamaan.
Prosedur ini menginspirasi banyak prosedur yang diterbitkan 350 tahun kemudian sebagai alat bantu untuk mengajarkan pemecahan
masalah.
3. Whewell
mengusulkan model penemuan dengan tiga tahap: (1) klarifikasi, (2) colligation (induksi),
dan (3) verifikasi, yang masing-masing memiliki sejumlah komponen dan metode.
Teori Whewell ini lebih banyak berkaitan dengan ilmu pengetahuan empirik, namun
sangat bisa digunakan dalam matematika. Whewell sendiri adalah pengikut Kant
yang percaya bahwa kebenaran yang diperlukan terjadi di dalam matematika dan
ilmu pengetahuan.
4. Adalah Polya
yang akhirnya menginisiasi model pemecahan masalah untuk matematika, yakni
(1) memahami masalah, (2) merancang rencana dan melaksanakannya, dan (3)
melihat ke belakang (mungkin maksudnya mengevaluasi).
Sejarah proses penemuan dalam
matematika tercatat sangat panjang dansebanding dengan penemuan manusia itu
sendiri. Poincaré dan Hadamard memberikan komentar bahwa peran intuisi dan
kesadaran dalam penemuan - penemuauikikn matematika. Bagi mereka, matematikawan
besar memiliki ruang-ruang matematis khusus yang memungkinkan mereka untuk
menembus tabir misterius sekitarnya, menembus 'realitas matematika', dan
mencapai kebenaran sejati.
Selanjutnya, Ernest melihat kegiatan
dan wacana matematika berlangsung pada tiga tingkat; matematika formal,
matematika informal, dan matematika sosial. Dalam masyarakat Barat, dan
khususnya, dalam budaya profesional matematika, pola ordinal ini dinilai dalam
tingkatan yang menurun. Semisal wacana matematika formal disediakan untuk
presentasi pembenaran matematika, yang menempati derajat tinggi. Wacana
matematika informal berlangsung pada tingkat yang lebih rendah dan tentunya
diberikan nilai yang lebih rendah. Sementara jika kita renungkan, aktivitas
matematika dan kreativitas matematika secara alami terjadi pada tingkat
informal, dan tentunya aktivitas ini memiliki status profesional yang lebih
rendah. Bagi Ernest, istilah penganut konstruktivisme sosial disematkan pada orang
yang menganggap bahwa dalam matematika terjadi hubungan antara subyektivitas
dan obyektivitas pengetahuan. Hal ini berarti bagi penganut konstruktivisme
sosial konteks penemuan (kreasi) dan
pembuktian tidak bisa sepenuhnya dipisahkan. Pembuktian dalam matematika
merupakan produk kreativitas manusia yang berwujud konsep, dugaan, dan
teori.
Konstruktivisme sosial
mengidentifikasi semua pelajar matematika sebagai pencipta matematika, namun
hanya mereka yang mendapatkan persetujuan kritis masyarakat matematika yang
dapat menghasilkan pengetahuan bonafid yaitu baru (Ernest menyebutnya
matematika yang yang disahkan). Aktivitas matematika dari siapapun yang
produktif serta melibatkan pengajuan dan pemecahan masalah, secara kualitatif
tidak berbeda dari aktivitas profesional matematika lain.
Matematika non-produktif tidak
menawarkan hal yang sama, karena pada dasarnya
“reproduksi teori” adalah lawan dari “kreativitas”, dan Ernest menyebutnya dengan 'matematika beku'.
2.
"Masalah"
dan Investigasi dalam Pendidikan
Mengingat bahwa sebagian besar dari
matematika adalah bermula dari masalah
manusia dan pemecahannya, maka pembahasan bab terakhir ini akan terkait
dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip sebagai berikut:
·
Matematika sekolah harus bersumber dari masalah
pengajuan dan pemecahan masalah manusia
·
Permintaan dan penyelidikan harus menempati posisi
penting dalam kurikulum matematika sekolah.
·
Fakta bahwa matematika adalah fallible (dapat disahkan,
tidak absolut) dan merupakan konstruksi manusia yang subyektif, hendaknya
menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun kurikulum.
·
Pedagogi yang digunakan harus
diawali dengan proses dan penyelidikan terfokus.
Salah satu hasil dari prinsip-prinsip ini bahwa
istilah matematika untuk semua bergeser menjadi matematika oleh semua.
a.
“Masalah”dan
Investigasi: Beberapa Perbedaan
Pembelajaran matematika dengan
pemecahan masalah dan investigasi telah dikenal luas dalam dunia pendidikan matematika
Inggris sejak Cockcroft (1982). Di belahan dunia lain, pemecahan masalah dapat
ditelusuri lebih jauh ke masa lalu, setidaknya untuk Brownell (1942) dan Polya
(1945), dan mungkin tokoh-tokoh sebelumnya. Pada tahun 1980, dalam tinjauan
selektif penelitian dalam pemecahan masalah matematika, Lester (1980) mengutip
106 referensi penelitian, mewakili hanya sebagian kecil dari apa yang telah
diterbitkan pada saat itu. Dalam pendidikan matematika Inggris, pemecahan
masalah dan investigasi mungkin pertama kali muncul di tempat kejadian pada
tahun 1960-an, dalam Asosiasi Guru Matematika (1966) dan Asosiasi Guru di
Sekolah Tinggi dan Departemen Pendidikan (1967).
Salah satu kesulitan dalam membahas pembelajaran
pemecahan masalah dan pembelajaran investigasi adalah bahwa konsep-konsep ini tidak
jelas dan dipahami secara berbeda oleh penulis yang berbeda. Namun, ada
kesepakatan bahwa dua hal tersebut
berhubungan dengan matematika inkuiri (penemuan). Karenanya, pembahasan
selanjutnya melangkah pada matematika berbasis inkuiri,mulai dari fokus,
proses, sampai sisi pedagogisnya.
1)
Obyek
Penemuan
Objek inkuiri adalah masalah dan
titik awal investigasi. Salah satu definisi masalah adalah suatu situasi di
mana seorang individu atau kelompok dipanggil untuk melakukan tugas,
dimana tugas tersebut tidak memiliki carayang
mudah untuk menentukan solusi. Perlu ditambahkan bahwa definisi ini mengasumsikan
adanya keinginan dari individu atau kelompok untuk melakukan tugas
tersebut' (Lester, 1980, halaman 287). Definisi ini menunjukkan masalah sebagai
suatu tugas tidak biasa yang membutuhkan kreativitas untuk diselesaikan.
Penyelesaian masalah ini akan memunculkan relativitas dari masing-masing orang.
Maksudnya adalah tiap-tiap orang akan memunculkan ide-ide berbeda dalam
usahanya memecahkan masalah tersebut. Ini akan berefek pula pada penyusunan kurikulum
matematika, dimana penyusunan kurikulum pasti akan membawa siswa menuju satu definisi,
algoritma, atau bahasa sederhananya rumus tertentu. Penyusunan kurikulum juga akan terkait dengan posisi siswa dalam
belajar. Penyusunan kurikulum
matematika akan terkait dengan posisi siswa sebagai individu dan kelompok.
Siswa bukanlah suatu wadah kosong yang bias langsung diisi dengan aturan
kurikulum tertentu. Siswa memiliki keunikan masing-masing sebagai individu, dan
juga keunikan yang diakibatkan dari adat dan kebiasaan masyarakat di
sekitarnya. Secara lebih spesifik, bahwasanya tujuan pendidikan matematika bagi
seorang guru dan siswa-siswanya adalah kompleks, sehingga sangat naif jika
dilakukan simplifikasi ( penggampangan) dalam
menyusun kurikulum.
Sementara
konsep investigasi dipermasalahkan karena dua sebab. Pertama, meskipun 'investigasi' adalah kata benda, namun sebenarnya kata investigasi memiliki makna yang
berujung pada penemuan (inkuiri). Sebuah kamus mendefinisikan investigasi
sebagai proses investigasi, pencarian, penemuan, pengujian sistematik,
penelitian yang hati-hati. Dalam pendidikan matematika terjadi pergeseran
makna, investigasi adalah sebuah penyelidikan matematika dengan pijakan awalnya
adalah pertanyaan matematika atau situasi tertentu. Pengertian ini menjadikan
guru sebagai pusat pembelajaran yang bertugas merekayasa investigasi, yang
tentunya bertolak belakang dengan pandangan
siswa sebagai pusat pembelajaran, yang memandang investigasi sebagai
aktivitas peserta didik. Masalah kedua adalah bahwa ketika penyelidikan dapat
dimulai dengan situasi matematika atau pertanyaan,
fokus kegiatan bergeser sebagai pertanyaan baru yang diajukan, dan situasi baru
yang dihasilkan dan tereksplorasi. Di mana obyek penyelidikan bergeser
dan didefinisikan ulang oleh penanya. Ini
berarti bahwa itu adalah nilai terbatas untuk mengidentifikasi
penyelidikan dengan situasi pembangkit aslinya.
Masalah kedua adalah ketika
investigasi (penyelidikan) dimaknai sebagai kegiatan yang dimulai dengan
munculnya situasi matematika atau pertanyaan tertentu, lalu bergeser pada
pengajuan permasalahan baru, pemunculan situasi baru, dan eksplorasi situasi
tersebut. Di sinilah obyek penyelidikan bergeser, berubah, dan didefinisikan
ulang oleh peserta didik (inquirer). Sifat eksplorasi yang nampak liberal
ini akan menyulitkan pendefinisian investigasi sebagai suatu aktivitas yang
terkait dengan situasi pembangkit aslinya
(dalam bahasa lain, dengan titik awal investigasi itu sendiri).
2)
Proses
Penyelidikan
Jika masalah diidentifikasi sebagai pertanyaan,
proses pemecahan masalah matematika adalah kegiatan mencari jalan untuk
jawabannya.Namun proses ini tidak dapat
mensyaratkan jawaban yang didapat akan tunggal dan unik, untuk sebuah
pertanyaan mungkin akan memiliki beberapasolusi, atau tidak sama sekali.
Semakin kompleks solusi yang didapat, berartitingkat permasalahan yang diajukan
semakin tinggi. Dalam bahasa lain, pengertian
pemecahan masalah adalah menemukan jalur menuju solusi, atau meminjam bahasa ilmu geografi adalah menemukan rute menuju tujuan
yang diinginkan (dalam paragrap selanjutnya kalimat rute menuju tujuan yang
diinginkan ini akan disebut metafora
geografis [terjemahan bebas penulis dari bahasa asli buku geographical
metaphor ]).
Terkait dengan metafora ala ilmu geografi ini, Polya
menjelaskan;
"Untuk memecahkan
masalah adalah untuk menemukan cara dimana
tidak ada cara yang dikenal, untuk mencari jalan keluar dari kesulitan,
untuk menemukan jalan keluar dari halangan, untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang tidak segera dicapai,
dengan cara yang tepat” (Krulik dan Reys, 1980, halaman 1).
Sejak era Nilsson (1971) telah muncul
dasar bagi beberapa penelitian tentang pemecahan masalah dalam matematika, yang
memanfaatkan gagasan tentang ruang solusi ( solution
space ) atau ruang dari keadaan ( state-space) sebagai representasi dari
masalah. Metafora geografis yang telah disebutkan di atas diwujudkan dalam
bentuk ilustrasi yang berbentuk diagram himpunan semua ruang yang dapat
diperoleh dari keadaan awal. Keadaan awal suatu masalah sendiri adalah himpunan
semua ekspresi yang telah diperoleh
dari pernyataan awal masalah sampai saat tertentu (Lester, 1980, halaman 293).
Kekuatan dari gagasan metafora geografis ini adalah semuaproses dapat semua
langkah dalam proses dapat disajikan (dalam sebuah diagram; bahasa pemakalah:
di-list ), dan jalur alternatif
yang disebut proses tadi akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan
langkah-langkah yang disajikan. Kelemahannya
adalah semua kemungkinan yang muncul dari kondisi awal, bahkan
kondisi-kondisi yang belum muncul, belum terpikir, atau bahkan yang tidak
mungkin muncul tetap dipandang sebagai sesuatu
yang belum muncul (as pre-existing)
dan membutuhkan penemuan agar bisa muncul. Perlu dipahami bahwa gagasan
investigasi dalam pengertian metafora geografis ini cenderung cocok untuk
penganut absolutis daripada platonis (dalam koridor cara pandang terhadap
matematika).
Metafora geografis juga diterapkan
pada proses penyelidikan matematika. Penekanannya adalah pada mengeksplorasi
bagian matematika ke segala arah. proses perjalanannya (bukan tujuannya)
(Pirie, 1987, halaman 2). Di sini penekanannya adalah pada eksplorasi wilayah
yang tidak diketahui, daripada perjalanan menuju ke tujuan tertentu. Jadi
ketika proses pemecahan masalah matematika digambarkan sebagai konvergen,
investigasi matematika adalah hal yang berbeda (HMI, 1985).
Bell et al. (1983) mengusulkan suatu
model dari proses penyidikan, dengan
empat langkah: merumuskan masalah, pemecahan masalah, verifikasi, integrasi.
Menurutnya, “Di sini kata ‘investigasi‘ digunakan
dalam upaya untuk menghimpun segala macam cara memperoleh pengetahuan. (Bell
dkk., 1983, halaman 207). Mereka berpendapat bahwa penyelidikan matematika
adalah bentuk khusus, dengan komponen karakteristiknya sendiri; yakni abstraksi,
representasi, pemodelan, generalisasi, pembuktian,dan simbolisasi. Pendekatan
ini memiliki ciri berupa penentuan sejumlah proses mental yang terlibat dalam
investigasi matematika (dan Pemecahan masalah).
Sementara penulis lain, seperti Polya (1945) berpendapat bahwa investigasi mencakup banyak komponen dari model sebagai proses pemecahan masalah.
Perbedaan utama antara Polya dan Bell adalah masuknya
perumusan atau pengajuan masalah (problem posing), yang mendahului pemecahan masalah. Namun, walau model yang
diusulkan oleh dua tokoh tadi memiliki
dasar empiris, tidak ada alasan dan justifikasi rasional yang dapat dijadikan
acuan untuk memilih salah satu model.
3)
Pedagogi Berbasis
Inkuiri
Dalam bab ini, Ernest membuat sebuah tabel untuk
membedakan pendekatan penemuan terbimbing, pemecahan masalah, dan pendekatan investigasi,
dipandang dari hal-hal yang dilakukan guru dan murid ketika menggunakan salah
satu metode. Tabel 13.1. disajikan sebagai berikut.
Table 13.1: A Comparison of Inquiry Methods for Teaching Mathematics
Diterjemahkan oleh pemakalah:
Metode
|
Hal yang dilakukan Guru
|
Hal yang dilakukan Siswa
|
Penemuan Terbimbing
|
·
Mengajukan masalah, atau memilih situasi dengan
tujuan yang sudah dibayangkan.
·
Membimbing siswa menuju solusi atau tujuan tadi
|
Mengikuti petunjuk yang diberikan guru
|
Pemecahan Masalah
|
·
Mengajukan Masalah
·
Meninggalkan metode pencarian masalah terbuka untuk
dicarikan sendiri oleh siswa
|
Mencari jalan sendiri untuk memecahkan masalah
|
Pendekatan Investigasi
|
Memilih situasi awal untuk mengarahkan siswa
|
·
Mendefinisikan siswa dengan situasi yang ada
·
Melakukan pemecahan dengan cara mereka sendiri
|
Tabel diatas menggambarkan
pergeseran pembelajaran dari penemuan terbimbing, pemecahan masalah,dan
pendekatan investigasi tidak hanya terkait dengan proses matematika. Pergeseran
juga terjadi dalam ranah kontrol guru dalam hal jawaban, metode yang dipakai
peserta didik, sampai pada konten materi pelajaran. Peserta didik lebih bisa
menentukan solusi mana menerapkan metode
dan solusi yang akan mereka pakai, bahkan bisa memilih konten pelajaran
yang ingin mereka pelajari. mana menerapkan
metode dan solusi yang akan mereka pakai, bahkan bisa memilih konten
pelajaran yang ingin mereka pelajari. Pergeseran ke pendekatan
yang lebih berorientasi penyelidikan melibatkan peningkatan otonomi
pelajar dan aturan pembelajaran yang bebas ditentukan sendiri. Jika iklim kelas dengan
aturan yang bebas dan ditentukan sendiri seperti ini bisa dijaga
konsistensinya, siswa akan dapat dibimbing sampai pada tahap kemandirian untuk
menentukan interaksi, aturan dalam kelas, dan akses ke
berbagai bahan pembelajaran.
Pemecahan masalah dan investigasi
matematika sebagai pendekatan pengajaran
memerlukan pertimbangan konteks sosial kelas, da nmembutuhkan
satu hubungan yang kuat antara guru dan siswa. Pemecahan masalah
memungkinkan pelajar untuk berkreasi dalam
pembelajaran dan dalam situasi yang baru,
dengan guru masih mempertahankan
kendali atas konten dan instruksi. Jika
pendekatan investigasi diterapkan sampai tahap memungkinkan siswa untuk mengajukan masalah dan
pertanyaan untuk selanjutnya diselidiki dengan cara yang relatif bebas,
akan terjadi pembelajaran berbasis pemberdayaan (empowering) dan
pelibatan siswa (emansipatoris).
Namun, hal lain yang perlu diperhatikan adalah adalah komunikasi
dalam pengalaman kelas dengan berbasis pada pandangan bahwa matematika
itu progresif dan fallible. Ini akan berakibat pada
keunikan dan relatifitas dari masing-masing jawaban
dan metode yang diajukan siswa,bukan berpusat pada manusia yang aktif sebagai
pembuat pengetahuan.
b.
Persepsi
yang Berbeda terhadap “Masalah” dan Investigasi
Beberapa
perbedaan yang sudah disebutkan dalam subbab sebelumnya menyebabkan
perbedaan- perbedaan yang muncul dalam memahami Masalah dan
Investigasi dan penggunaannya dalam pembelajaran matematika. Berikut perbedaan-perbedaan
tersebut
1)
Penolakan
terhadap Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi
Reaksi
negatif terkuat untuk masalah dan investigasi muncul dari akibat pandangan bahwa pendekatan ini tidak pantas digunakan untuk matematika sekolah. Hal ini didasarkan pada
persepsi bahwa matematika sekolah adalah konten yang
berorientasi, dan bahwa fungsi utamanya
adalah untuk menanamkan keterampilan matematika dasar. Pendekatan ini
dipandang sebagai sesuatu yang sembrono,
menyianyiakan waktu, dan sebuah kerja keras yang mubazir. Ini adalah respon dari kelompok yang memandang
pendidikan sebagai lahan
penyuplai kebutuhan industri. Kelompok ini secara sempit melihat isi matematika
dengan epistemologi dualistik nya. Bagi mereka, pembelajaran adalah model
transmisi otoriter, dan setiap usaha meningkatkan otonomi siswa dalam
pembelajaran sangat ditentang.
2)
Penggabungan
Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi Sebagai Konten
Kelompok
kedua menganggap pendekatan ini perlu untuk dimasukkan sebagai konten
dari kurikulum matematika. Kelompok ini memandang bahwa
pendekatan ini dapat memperkaya konten matematika. Namun aliran absolut yang
mereka anut membuat mereka mengabaikan penyelidikan sebagai
salah satu unsur penting dalam pendekatan ini. Burghes
(1984), yang mewakili perspektif ini, merumuskan investigasi dalam (1)
penyelidikan eureka (teka-teki), (2)
investigasi eskalator (‘proses’ atau masalah kombinatorial),
(3) keputusan terhadap masalah dan (4) masalah nyata. Secara keseluruhan
pendekatan pemecahan masalah dan investigasi diidentifikasi sebagai objek
penyelidikan, dan diperlakukan sebagai tambahan isi
kurikulum, ini terjadi jika
pemodelan matematika tidak dipahami sebagai suatu proses.
3)
Pemecahan
Masalah dan Investigasi Sebagai Pedagogi
Kelompok
ketiga melihat pemecahan masalah dan investigasi sebagai pendekatan pedagogis dengan kurikulum keseluruhan, dan bukan hanya sebuah tambahan. Pandangan ini
prihatin dengan peran manusia dalam perkembangan
ilmu pengetahuan, dan karenanya mendukung proses pemecahan
masalah dan investigasi masuk dalam kurikulum matematika. Penggabungan
penuh proses ini ke dalam kurikulum, termasuk problem posing,
mengarah ke pedagogi pemecahan masalah dan pedagogi investigatif. Perspektif
kelompok ini terfokus pada bagaimana memberikan fasilitasbagi pengembangan
kreativitas individual peserta didik, dan pemecahan masalah dan
investigasi dianggap mampu meewujudkannya. Jadi pemecahan masalah dan
investigasi dipahami dari segi proses yang dialami siswa dan juga segi
pendekatan pedagogis yang diadopsi di dalam kelas. Lingkungan belajar,
situasi belajar, dan hal-hal lain terkait pembelajaran disusun dengan hati-hati
terstruktur dan didesain agar memungkinkan terjadi eksplorasi matematika
di dalamnya, serta memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengejar
penyelidikan mereka sendiri. Peran guru dipahami sebagai manajer lingkungan
dan sumber belajar, serta sebagai fasilitator pembelajaran. Materi dibatasi
situasi matematika murni, dengan topik tematik yang 'aman' dari isu-isu
politik. Penekanannya pada individu siswa dan minat siswa, bukan pada konteks
sosial struktural tempat mereka akan hidup,
akan belajar, dan akan mencari
nafkah. Inilah yang membedakan kelompok ketiga dengan kelompok industrialis.
Kelompok ini tidak memandang
pembelajaran matematika sebagai sebuah pembekalan keahlian -keahlian yang mereka
butuhkan ketika nanti
mereka bekerja, namun lebih memandang pembelajaran matematika
sebagai pembelajaran yang memperhatikan minat siswa. Dalam
kelompok ini, ada pula yang menambahkan dimensi sosial-politik dalam
pertimbangan penyusunan kurikulum pembelajaran. Pedagogi yang diadopsi oleh
pendekatan ini akan melibatkan sejumlah fitur menuju kearah investigasi,
seperti tugas kooperatif berkelompok, diskusi, dan kemandirian
siswa. Semua ini
dapat dipergunakan bersama dengan perspektif pendidik progresif. Yang diperhatikan
dalam pendekatan semacam ini adalah penggunaan masalah-masalah sosial yang relevan, dengan menggunakan berbagai bahan otentik seperti
koran, statistik resmi, dan masalah sosial lain. Untuk
pendidik masyarakat (mungkin bermakna penyuluh.), pedagogi ini bisa menjadi sarana untuk mengembangkan keterampilan
kewarganegaraan dan keterlibatan
sosial masyarakat.
c. Hubungan antara Epistemologi dan Pedagogi
Sejumlah laporan resmi dan
otoritatif yang dipublikasikan merekomendasikan
penggabungan pemecahan masalah dalam pengajaran matematika
sekolah. Contoh di Inggris adalah laporan Cockcroft (1982) dan Inspektorat
Kerajaan (1985), sedang di Amerika Serikat adalah laporan dari NCTM (1980,
1989). Namun, salah satu hambatan bagi reformasi kurikulum tersebut adalah penafsiran
yang berbeda terhadap berbagai publikasi ilmiah tersebut. Konsep pemecahan
masalah dan investigasi tentu akan berasimilasi dengan
perspektif penafsir, dan dipahami dengan caranya masing-masing. Performa
guru dalam memakai pendekatan tergantung pada
bagaimana guru memandang matematika. Bukti
empiris menunjukkan bahwa guru dapat memberi penafsiran secara sempitpada
pendekatan pemecahan masalah dan investigasi. Lerman (1989a), misalnya, menjelaskan
bagaimana pendekatan investigasional dalam matematika sekolah ditumbangkan
oleh pandangan bahwa hanya ada hasil tunggal yang benar dan unik (yang
tentu saja diakibatkan oleh filosofi matematika absolute yang masih dianut). Kendala
kedua adalah implementasi. Kendala ini melibatkan hubungan antara teori-teori
pengajaran dan pembelajaran, yang mendasari praktek pembelajaran
di kelas. Pada skala besar, ini adalah perbedaan antara rencana dan kurikulum
yang diajarkan. Pada skala kecil, kendala ini berupa perbedaan antar
teori-teori yang dianut oleh masing-masing guru dalam melaksanakan pembelajaran. Beberapa studi telah mengungkapkan guru yang menganut pemecahan
masalah sebagai pendekatan pengajaran matematika pada prakteknya hanyalah semacam espositori dengan ditambah penambahan masalah
(Cooney,1983; 1985,
Thompson, 1984; Brown, 1986). Penyebabnya adalah karena
konteks sosial guru yang bersangkutan ikut andil dalam
proses pembelajaran yang berlangsung. Misalnya, adalah sulit bagi guru untuk
merubah pakem pembelajaran yang sudah ada dalam suatu sekolah tertentu.
Ernest menyebutkan bahwa dalam sekolah yang sama, guru-guru yang diteliti
cenderung menggunakan praktek kelas yang sama, dan tidak mempertimbangkan
bagaimana pandangan sang guru terhadap matematika. Singkatnya,
keyakinan sang guru terhadap ideologi matematika tertentu masih kalah
pengaruhnya dengan kondisi sosial tempat guru mengajar. Gambar 13.1 menunjukkan
hubungan yang terlibat dalam keputusan praktik kelas yang diambil.
Gambar 13.1:
The relationship between espoused and enacted beliefs of
the mathematics teacher
Gambar tersebut menunjukkan bahwa
salah satu komponen ideologi guru, yakni
pandangan filosofisnya terhadap matematika mendasari dua komponen sekunder,
yakni teori mengajar dan belajar matematika. Dua komponen sekunder ini akan menjadi
dasar diambilnya suatu model belajar, termasuk penggunaan sumber daya
pembelajaran yang dipilih, termasuk teks matematika. Penting diketahui
bahwa teks yang dipakai guru ketika melakukan pembelajaran menunjukkan
alur pandangan epistemologinya, bagaimana melihat teks sebagai penentu
penting sifat dari kurikulum yang diimplementasikan. Panah ke bawah pada gambar
menunjukkan arah pengaruh utama. Isi dari komponen kepercayaan yang lebih
tinggi tercermin dalam sifat komponen yang lebih rendah. Dan karena model
berlaku saling terkait, seperti teori yang dianut belajar dan mengajar, maka garis
horisontal ditarik antara mereka. Sebenarnya
faktor yang dapat dimunculkan untuk menjelaskan berbagai masalah yang
disebutkan di atas adalah konteks sosial dari pembelajaran itu sendiri. Konteks
sosial memiliki pengaruh yang sangat besar. Konteks sosial yang dibicarakan
di sini mencakup hal yang sangat luas, seperti karakteristik siswa itusendiri,
harapan apa saja yang didapat dalam pembelajaran, kurikulum yang dilembagakan,
sistem penilaian dan sistem persekolahan nasional. Konteks sosial-lah yang
mengarahkan guru, dalam menyusun pembelajaran di kelas. Tentu model diilustrasikan
dalam Gambar 13.1 masih sangat sederhana, karena sejatinya hubungan antar
komponen pembelajaran jauh lebih kompleks dan jauh lebih mekanistik dari pada
yang ada dalam gambar.
3.
Kelebihan
Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah
Pembelajaran
berbasis pemecahan masalah, merupakan pendekatan pengajaran
emansipatoris, dan ketika berhasil dilaksanakan, akan mampu memberdayakan
peserta didik secara epistemologis (dalam arti peserta didik mengetahui
darimana suatu konsep diperoleh). Hal ini dapat mendorong siswa aktif untuk
mengetahui dan menciptakan pengetahuan sendiri, sekaligus melegitimasi
pengetahuan itu sebagai matematika, setidaknya dalam konteks sekolah. Telah dikatakan bahwa itu adalah
bentuk dan bukan isi dari pendidikan yang
memiliki dampak terbesar untuk matematika. Pandangan ini ditentang dalam Bab 11, di mana dalam bab tersebut ada pendapat yang menganggap bahwa pandangan hirarkis terhadap
pengetahuan berkontribusi pada pembentukan kembali jika
bukan reproduksi kesenjangan sosial melalui pendidikan. Implikasi
ini dari hal ini terkait dengan baik isi dan bentuk materi pengajaran, meskipun
mungkin mustahil untuk berpikir bahwa dua hal ini dapat dipisahkan. Untuk
mencerminkan sikap konstruktivis sosial (atau
bahkan pandangan absolut progresif matematika), pedagogi jenis problem
posing harus
mencakup pula tinjauan terhadap konten serta pendekatan pengajaran.
a.
Melawan “Reproduksi” dalam Kurikulum Matematika
Dari beberapa ideology yang muncul
dalam buku ini, hanya pendidik progresif yang berideologi perubahan
sosial. Ideologi ini berusaha untuk memberdayakan peserta didik untuk
menjadi sadar dan kemudian mengambil kendali dari
hidup mereka untuk menantang kekuatan reproduksi di tempat kerja, sekolah dan
masyarakat. Cara yang bias dipakai untuk mencapai hal ini adalah melalui
penggunaan problem posing dalam pembelajaran. Pendekatan ini mencoba untuk
meminimalkan atau mengeksplisitkan hirarki kekuatan tersembunyi
yang dicontohkan di dalam kelas, dimana hirarki ini memainkan peran
penting dalam penerimaan diam-diam terhadap hirarki sosial yang ada dalam
masyarakat. Persamaan Hak dalam Mempelajari
Matematika Ada masalah-masalah khusus dari
reproduksi sosial dalam masyarakat,yang mencakup persamaan hak bagi semua orang
dalam hal matematika. Semua orang
berhak mempelajari dan bahkan memunculkan teori baru tentang
matematika, tidak terkecuali etnis-etnis minoritas, terutama kulithitam, dan wanita (dibahas dalam bab 12).
Pedagogi problem
posing, berbasis ideologi pendidik publik. Dapat menjadi solusi untuk masalah
ini, dengan member kesempatan yang sama bagi
kulit hitam dalam matematika dan sekolah.
Karenanya masyarakat memerlukan pengajaran matematika yang anti-rasis. Demikian
juga, untuk memperbesar peluang perempuan mengakses matematika, masyarakat
memerlukan pembelajaran yang anti-seksis (tidak membeda-bedakan gender). Semua solusi ini bersandar pada pedagogi problem
posing, yang diusulkan karena sifatnya yang memberdayakan semua peserta
didik.
b. “Menumbangkan” Tujuan Pembelajaran Sempit dalam
Kurikulum
Pada subbab ini, Ernest bermaksud
mengkritisi pengembangan kurikulum nasional di
Amerika yang menurutnya adalah kurikulum yang bermaksud mematikan
skill dan mematikan
profesionalisme guru (‘deskill’
and deprofessionalize teachers) jika ditinjau dari ketatnya konten dan cara
evaluasi pembelajaran
matematika yang ada di dalamnya. Bagi Ernest, pengembangan kurikulum
matematika di Amerika bersumber pada ideologi utilitarian yang berbasis
pada keyakinan bahwa pendidikan adalah pemasok utama dari kebutuhan
industri. Pemasukan dan
pelembagaan pemecahan masalah dan cara penilaian hasil belajarnya (assessment )
ke dalam kurikulum matematika berfungsi untuk
membiasakan cara berpikir matematika strategis, yang merampas sisi emansipatoris pemecahan masalah. Dalam sub bab ini pula, Ernest
ingin menunjukkan
bahwa dalam pengembangan kurikulum tersebut, terdapat ambiguitas
dan kontradiksi yang dapat menjadi celah bagi pembaca bukunya untuk mengcounter dan melawan
tujuan sempit ideologi utilitarian yang dianut kurikulum
nasional Amerika. Konsep pemecahan masalah dan investigasi memiliki arti yang
berbeda sesuai
perspektif penafsiran masing-masing subyek. Perbedaan yang paling menonjol
terdapat pada kelompok yang menganut penggunaan pendekatan pemecahan
masalah dan investigasi untuk sekedar mereproduksi pengetahuan matematika,
dan kelompok yang menggunakannya dalam pembelajaran matematika
berbasis pemberdayaan. Dari sini akan muncul perbedaan penting yang akan
muncul dan bisa diperdebatkan, konsep relevansi penggunaan pendekatan
ini dan keterkaitannya dengan pendidikan kewarganegaraan.
1)
Relevansi
Relevansi memiliki
makna hal-hal yang
menunjukkan apa yang dianggap tepat oleh seseorang. Perspektif utilitarian yang
diwakili oleh kalangan industri memandang
matematika sebagai satu kemampuan dasar yang harus
dimiliki oleh buruh, yang berakibat kurikulum matematika haruslah
disusun sedemikian rupa sehingga mampu menelurkan pekerja-pekerja baru yang
mampu menjadi sumber daya industri. Sementara bagipendidik progresif,
matematika harus relevan dengan minat dan kebutuhan peserta
didik. Kurikulum matematika yang relevan menurut perspektif ini harus
memungkinkan peserta didik untuk terlibat secara matematis dalam konteks
sosial mereka, dengan cara pembelajaran yang memberdayakan, yang membuat
siswa secara mandiri mampu menyusun pembelajaran alam mereka sendiri.
Dari sini nampak pertentangan dan ambiguitas antar kedua
pandangan tersebut. Selanjutnya
adalah ambiguitas dalam hal pendidikan kewarganegaraan. Satu
pandangan berpendapat bahwa seorang warga negara dikatakan aktif jika ikut
berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas soial yang ada dalam masyarakatnya
dan patuh pada aturan. Pandangan ini sekali lagi adalah milik absolutis
dan kaum pedagogi industrial. Seperti
sebelumnya, pandangan ini bertentangan
dengan pandangan kaum konstruktivis. Bagi kaum konstruktivis, dengan sistem
pembelajaran berbasis pemecahan masalah, hendaknya
ikut mendidik masyarakat untuk kritis dalam memahami berbagai kondisi,
keteraturan, dan hal-hal lain yang nampak baik
di mata sistemyang berkuasa. Pembelajaran kritis semacam
inilah yang diharapkan dapat menjadi satu
pola penyadaran bagi masyarakat sehingga tidak di ninabobokkan oleh keteraturan yang ada. Bagi mereka, pedagogi problem posing,
akan mampu memberdayakan peserta didik untuk dapat mengembangkan
keterampilan yang luas, mampu terlibat dengan isu-isusosial kontemporer dan
akhirnya menjadi warga negara kritis. Di titik inilah,aliran konstruktivis akan
berlawanan arah dengan kaum utilitarian.
2)
Kontradiksi
Ernest dalam pembahasan mengenai kontradiksi mengawalinya dengan menyebut
Kurikulum Nasional yang dibuat Pemerintah Inggris modern sebagai satu
langkah keras dalam upaya mengambil
alih sistem pendidikan dan untuk mendikte tujuan-tujuan dan hasilnya. Sempitnya
tujuan yang dirumuskan kurikulum ini, bagi Ernest malah membuatnya nampak
sebagai sesuatu yang anti-pendidikan.
Pendapat
Ernest ini akan dapat kita pahami jika kita mengacu pada pertanyaan, apakah
tujuan pendidikan itu? Pertanyaan
ini telah diulas dalam bab 6, dalam subbab 2 (Aims in Education: An Overview).
Secara ringkas, misalnya kaum industrial trainer
meyakini pendidikan sebagai suatu transfer
pengetahuan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan industri, dan kaum humanis tua
yang berpendapat pendidikan adalah substrukstur dari upaya pelanggengan terhadap nilai, kultur,
ataupun struktur sosial yang ada. Bagi Ernest, tujuan pendidikan semacam ini
sangat sempit dan cenderung anti pendidikan
itu sendiri. Menurut pemakalah, Ernest cenderung masuk dalam golongan konstruktivis yang memandang pendidikan
bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Sekali lagi,
Ernest membenturkan kaum industri dan teknologis-pragmatis di satu sisi, dengan
pendidik konstruktivis di sisi yang lain. Bagi Ernest, penggunaan pendekatan
pemecahan masalah dalam kurikulum nasional akan memunculkan kontradiksi.
Kontradiksi yang muncul disebabkan karena sifat pendekatan ini akan berhadapan
diametral dengan ideologi
kaum industri yang menjadi pendukung utama susunan kurikulum nasional
saat ini.
Ernest
selanjutnya menyebutkan masih mungkinnya pembelajaran berbasis pemecahan
masalah bangkit dan digunakan di tengah kurikulum yang didesain oleh kaum
industrialis. Bagi Ernest, meskipun kurikulum nasional dalam matematika
memberikan aturan yang cenderung kaku dalam hal konten materiyang diajarkan dan
cara mengevaluasinya, namun tetap saja ada celah-celah yang dapat
dimasuki oleh model pembelajaran pemecahan masalah. Terbukti saat ini dewan
penyusun kurikulum (entah di Inggris atau Amerika yang ia maksud), telah menyarankan
penggunaan pendekatan pembelajaran ini.
Menurut
Ernest, kontradiksi dalam sebuah sistem pendidikan dapat digunakan
untuk menumbangkan kekuatan ideologi industrialis yang melekatdalam kurikulum
tersebut melalui pedagogi problem
posing. Namun, untuk sampai pada tingkat pembelajara emansipatoris,
pembelajaran harus berhasil dalam
melibatkan peserta didik. Pembelajaran tersebut harus didasarkan pada pengakuan
peserta didik dan guru sebagai agen epistemologis. Ernest mengakhiri bab ini
dengan menyebut guru sebagai faktor yang akan menentukan pembelajaran problem
posing, dimana guru tidak hanya berposisi sebagai pengaajar, namun juga sebagai
insan peneliti yang akan memberikan kontribusi teoritik
dalam kajian pembelajaran ini.
4.
Kesimpulan
Tema bab ini adalah refleksi dari
hakekat matematika sebagai aktivitas pemecahan masalah dan pembelajaran dengan basis pemecahan masalah sebagai pembelajaran yang emansipatoris.
Dengan pendekatan ini, tujuan pembelajaran matematika
akan bergeser pada tingakat sosial yang yang lebih tinggi, yang termasuk di
dalamnya; pemenuhan potensi manusia, kesadaran sosial dan kebutuhan
untuk perubahan sosial, serta perlawanan terhadap ketidakadilan, khususnya ketidakadilan dalam ras dan gender.
Tujuan pendidikan semacam ini tidaklah
bertentangan dengan perkembangan individual manusia dan pengembangan
kreativitas matematika. Masing-masing dari ideologi pendidikan matematika
didorong oleh filsafat matematika tertentu yang Pastinya akan berekses
pada kurikulum pembelajaran matematika. Inilah bahasan utama dari buku ini,
yakni berusaha menguji pernyataan: Suka atau
tidak, semua proses pembelajaran matematika berpijak pada filsafat matematika (Thom, 1971,
p. 204) Dan juga
untuk menjawab argumen : Masalahnya, bukanlah tentang pertanyaan bagaimana
cara terbaik untuk mengajar? namun, apakah
sesungguhnya matematika itu? Kontroversi
tentang mengajar
tidak bisa diselesaikan tanpa berhadapan
dengan masalah tentang sifat matematika. (Hersh,
1979,p.34).