Translate

Kamis, 25 Februari 2016

Hirarki dalam Matematika


            Tema pada bab sebelumnya membahas asumsi dimana   matematika memiliki  struktur hirarki tetap yang unik.  Analogi dari tesis ini  mencakup asumsi  dimana  pembelajaran matematika  disusun dengan cara  terbaik,  dalam arti kemampuan matematika  yang  terstruktur  dan  masyarakat memiliki  struktur hirarki yang tetap terkait dengan bidang pendidikan yang ditunjukkan.   Berikut ini asumsi-asumsi yang berkaitan dengan arti  penting masyarakat dan pendidikan.
A.   Apakah matematika memiliki struktur hirarki yang unik ?
            Pertanyaan ini dapat dianalisis dalam dua bagian, berkaitan dengan keberadaan  dan keunikan  struktur hirarki untuk matematika.  Sehingga, ada dua pertanyaan yang diajukan yakni: apakah  struktur  hirarki  pengetahuan matematika yang menyeluruh ada?  Dan jika demikian, apakah struktur  hirarki  tersebut tetap  dan unik?
            Hirarki dapat didefenisikan sebagai badan pengetahuan matematis dengan struktur menyeluruh. Apakah hal tersebut dikatakan sebagai struktur aksiomatik  berdasarkan atas axiom  dan aturan penarikan kesimpulan,  atau struktur defenisi berdasarkan ketentuan primitif dan defenisi lainnya, yang kemudian hirarki tersebut dijelaskan sebagai berikut. Ungkapan primitif mengenai  hirarki  (istilah axiom atau primitif)  terdiri dari  tingkat yang paling rendah  (0).  Ungkapan E lainnya dalam struktur tersebut dapat dicapai dengan jumlah minimum n dari aturan aplikasi  (aturan  kesimpulan atau defenisi)  dari ungkapan tingkat 0. Jumlah n mendefenisikan tingkat ungkapan E dalam hirarki tersebut. Dengan demikian, setiap ungkapan tersebut  dibuat pada tingkat  unik dalam  hirarki.  Karenanya, pengetahuan matematika dapat diberikan dalam bentuk  hirarki besar  yang menyatakan bahwa hal tersebut menggantikan  sistem atau struktur matematika  tertentu, yang  dihubungkan dengan kesimpulan atau hubungan  definisi.  Hubungan inferensial yang dimaksud perlu dipertimbangkan karena hal tersebut menunjukkan hubungan pembenaran antara ketentuan matematika dan rumusan yang ada dan menjelaskan struktur tentang  teori aksiomatik  deduktif.
            Dengan menggunakan defenisi tingkat formal, informal dan wacana sosial tentang matematika, selanjutnya kami menemukan teori matematika yang lebih formal dan kemudian hirarki tersebut dapat dijelaskan. Terkait dengan hasil kajian matematika yang tidak formal, hal ini tidak memungkinkan. Untuk aksiomatik, dasar tersebut tidak ditentukan sepenuhnya, dan hubungan logika antara ketentuan matematika  informal  tidak dapat dibuat dengan baik.  Pada bagian selanjutnya, kami hanya berfokus pada teori matematika formal, atau teori matematika informal yang siap dirumuskan. Untuk tujuan lain, ketentuan untuk menetapkan hirarki tersebut tidak terpenuhi.
            Sekarang, kami siap ditanya mengenai kedua pertanyaan tersebut. Pertama, apakah struktur hirarki menyeluruh tentang pengetahuan matematika ada? Kami melihat bahwa untuk teori matematika formal dengan rangkaian axiom yang tetap ditemukan ada struktur hirarki. Pilihan terhadap rangkaian axiom tersebut, sejalan dengan spesifikasi aturan kesimpulan dan bahasa formal latar belakang  yang menentukan teori matematika hirarki. Namun, matematika terdiri dari beberapa teori yang berbeda, dan banyak diantaranya yang memiilki rumusan aksiomatik yang berbeda. Teori rangkaian aksiomatik memiliki jumlah aksiomasi yang berbeda  seperti teori Zermelo-Eranekel Set dan Teori Godel-Bernays-von Neumann  (Kneebone, 1963). Diluar teori ini, banyak ahli matematika selanjutnya membedakan   teori aksiomatik set yang mereka pelajari dengan mengunakan aksioma-aksioma lebih lanjut (Jech,  1971,  Maddy,  984).
            Hasilnya, tidak ada struktur menyeluruh terhadap matematika formal, karena hal tersebut terbuat dari rangkaian teori-teori dan formulasi teori yang berbeda, dan masing-masing memiliki hirarki dan susunan tersendiri. Selanjutnya, menurut dalil   Godel   (1931), tidak satupun  teori  aksiomatik tersebut yang tidak lengkap.  Dalam hal ini, ada kebenaran teori yang tidak ditemukan dalam hirarki deduktif. Seperti yang kita lihat pada bab sebelumnya, usaha-usaha yang dilakukan oleh ahli matematika pada abad ini untuk menetapkan pengetahuan matematika dalam  sistem  fundasi tunggal dimana semua  ahli logistic, formalistic atau lembaga  gagal melakukannya. Karenanya,  hasil meta-matematika  memaksa kami mengetahui bahwa  matematika terdiri dari  beberapa teori yang berbeda,  dan tidak dapat dikurangi  menjadi  sistem tunggal,  dan tidak ada yang dianggap  cukup  untuk menjelaskan  semua kebenaran  bahkan dalam domain aplikasi yang terbatas.
            Hal ini menjelaskan bahwa pertanyaan mengenai keberadaan hirarki matematika secara menyeluruh pasti dijawab dengan cara  negatif. Hal ini tidak dapat dibantah lagi. Namun, kita sebaiknya lebih adil lagi untuk mempertimbangkan pertanyaan yang lebih lemah. Apakah struktur matematika  informal  yang besar dan baik tersebut ada, bahkan jika hal itu gagal memenuhi  kriteria yang diperlukan  untuk  menghasilkan susunan ganda terhadap matematika? Struktur tersebut dapat ditemukan dalam elemen-elemen Bourbaki(Kneebone, 1963).  Bourbaki melengkapi pertimbangan sistemik tentang matematika, mulai dengan teori rangkaian, dan berkembang ke teori murni lainnya, yaitu matematika terstruktur. Walaupun struktur  Bourbaki dianggap tidak lengkap (dalam arti informal), karena menunjukkan perhitungan dan aspek lainnya untuk bidang matematika,  maka hal ini menghadirkan  kodifikasi  informal  terkait dengan  porsi substansial  bidang matematika.  Apakah hal ini melengkapi jawaban yang jelas terhadap pertanyaan yang lemah? Jika kita mengatakan memang demikian adanya, maka aturan berikut perlu diingat. 
  1. Porsi signifikan untuk pengetahuan matematika dihilangkan.
  2. Sistem tersebut tidak didefenisikan secara formal untuk membuat hirarki tetap dan hasil dari pengetahuan matematika.
  3. Sistem menyeluruh tergantung pada asumsi teori rangkaian  klasik  sebagai dasar matematika.
  4. Sistem menyeluruh yang terikat terhadap budaya, menunjukkan   strukturalisme pada pertengahan abad  dua puluh.
Dengan demikian, hanya dalam bentuk yang sangat lemah, kita dapat menyatakan adanya struktur menyeluruh terhadap bagian matematika yang penting.
Pertanyaan kedua adalah sebagai berikut. Diberikan asumsi bahwa  ada struktur menyeluruh terhadap  pengetahuan matematika. Apakah hal ini merupakan struktur yang unik  dan tetap  sebagai dasar dari hirarki ? Pertanyaan ini juga memiliki dua bagian. Yang pertama berkaitan dengan keunikan struktur matematika.  Yang kedua berkaitan dengan  defenisi  hirarki tetap  dalam kaitannya dengan struktur yang ada. Kami melihat bahwa bagian kedua ini  tidak dapat dipertahankan.  Bahkan jika  struktur tersebut dilengkapi dengan  Bourbaki dengan keunikan yang ada,  ini merupakan hal informal  dan tidak  cukup untuk  defenisi tetap mengenai  hirarki.  Dalam arti yang jelas,  kami menyatakan bahwa dalam hal ini tidak ada  hirarki yang unik terhadap  matematika.
            Mari kita kembali  ke  bagian keunikan struktur matematika.  Keunikan tersebut tergantung  pada  kesepakatan mengenai dasar-dasar matematika.  Bourbaki mengasumsikan dasar-dasar rangkaian teoritis.  Dengan mengabaikan perbedaan teori yang ada, apakah dapat dikatakan bahwa teori tersebut melengkapi  dasar-dasar  unik yang disepakati secara  universal  untuk matematika?   Pertanyaan yang demikian pasti  dijawab dengan  cara negatif.  Kami sudah melihat bahwa   para  pendiri  menyatakan bahwa  matematika  yang terletak pada   fundasi yang  unik ternyata gagal.  Dalam hal ini setidaknya ada dua pilihan terhadap  rangkaian dasar-dasar teoritis  untuk matematika.  Pertama-tama,  dinyatakan bahwa  teori Category dapat melengkapi  dasar pilihan terhadap matematika,  yakni  teori  rangkaian  (Lawvere,  1966).  Pandangan ini belum sepenuhnya dibenarkan,  namun tidak menggantikan tantangan  terhadap keuniukan  dasar-dasar  rangkaian teoritis.  Dalam hal ini  juga ada cabang teori kategori (teori Topos)  dalam hal logika  instuionist dan klasik   dapat  dikurangi  (Bell,  1981).  Karena  teori rangkaian aksiomatik  dapat dinyatakan dalam  logika klasik  urutan pertama, maka hal tersebut selanjutnya dapat dikurangi  untuk  teori kategori.
Kedua instuisi yang masuk akal memberikan dasar untuk matematika. Walaupun tidak semua matematika klasik dalam hal dasar ini, banyak program instuisi sudah diterapkan  untuk menganalisis , oleh uskup (1967) dan lain-lain. Selanjutnya intuisi yang masuk akal berisi  tentang penggabungan matematika, tidak seperti dasar penetapan teori pada matematika klasik. Demikianlah didasar ini ada 2 pendapat, yaitu tuntutan untuk membantah struktur matematika yang unik.
Faktanya, sejarah matematika mengajarkan kita pelajaran yang berlawanan. Seluruhnya perkembangan matematika itu berubah melalui dasar penyusunan kembali konsep matematika, teori dan pengetahuan (Lakatos, 1976). Jadi meskipun struktur memainkan peran sentral dan mengatur pengetahuan matematika, mereka adalah beberapa struktur yang mengatasi dan memperbaiki selama perjalanan waktu. Tidak ada alasan untuk menduga  bahwa teori-teori alternatif dan formulasi akan pernah habis. Pandangan semacam itu merupakan pusat costructivisim sosial, dan filsafat lain yang mengakui matematika sebagai dasar sejarah. Jadi tidak hanya itu benar bahwa pada satu waktu matematika dapat dijelaskan oleh struktur hirarkis tunggal yang unik, tetapi juga dari waktu ke waktu apa struktur yang hadir berubah dan berkembang.
Dalam menyangkal klaim bahwa matematika memiliki struktur hirarkis yang unik, perhatian larangan yang telah dibatasi secara masuk akal, itu adalah struktur deduktif dari teori matematika. Sebagaimana telah kita lihat hierarki dapat didefinisikan dengan cara lain, yang paling menonjol, memiliki hirarki istilah dan definisi. Meskipun hal ini hampir tidak signifikan dalam matematika sebagai struktur deduktif, argumen yang sama dapat ditransposisikan dalam bidang  ini. Untuk struktur deduktif teori apapun disertai dengan definisi hirarki, dan hampir sebanyak struktur definisi yang ada deduktif. Jadi tidak ada definisi hirarki yang unik. Untuk lebih lanjut, hierarki global  digunakan dalam matematika. Dalam teori individul atau domain beberapa hierarki tentu memang ada, seperti derajat turing (dari unsolvability) dalam teori rekursi (lonceng dan machover, 1977). Tapi ini bukan dalam struktur satu pun pecahan  yang signifikan pengetahuan matematika. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa matematika unequaivocally tidak memiliki struktur hirarki secara keseluruhan, dan tentu bukan satu yang unik, bahkan ketika menduga  itu ditafsirkan murah hati dan longgar.
Apakah matematika seperangkat komponen pengetahuan diskrit?
Ada anggapan  lebih lanjut mengenai dalam sifat dan struktur pengetahuan matematika yang layak impor pemeriksaan karena pendidikannya. Ini adalah asumsi bahwa matematika dapat dianalisa menjadi komponen-komponen pengetahuan diskrit, jumlah tidak terstruktur (atau lebih tepatnya set) yang lebih tepatnya merupakan disiplin. Anggapan  ini mensyaratkan bahwa proposisi matematika adalah pembawa independen makna dan signifikansi.    
Membedakan antara formal, informal dan wacana matematika sosial, jelas bahwa tuduhan  ini yang terbaik dibuat untuk matematika formal. Selama dua domain lainnya mengandaikan makna konteks, seperti yang akan dikatakan di bawah ini. Karena struktur adalah salah satu ciri pengetahuan matematika, tuduhan  ini juga dapat beristirahat dianggap yang tidak beralasan bahwa ada struktur yang unik untuk matematika. Hal ini mungkin diperlukan agar ketika diskrit 'molekul' pengetahuan adalah rekombinasi, tetap dan ditentukan seluruh (tubuh pengetahuan matematika) hasil: kami telah membuang anggapan  kedua di atas. Namun, perkiraan bahwa proposisi matematika adalah pembawa  makna bebas dan signifikansi juga gagal. Pertama-tama, ekspresi matematika formal maknanya berasal dari teori aksiomatik atau sistem formal di mana mereka muncul. Tanpa konteks ini mereka kehilangan beberapa signifikansi mereka, dan struktur yang dikenakan oleh teori kegagalan.          Kedua, ekspresi matematika formal secara tegas makna semantik mereka dari kelas interpretasi atau interpretasi yang dimaksudkan terkait dengan teori formal diberikan dan bahasa. semantik tersebut telah menjadi bagian standar yang masuk akal secara resmi sejak Tarski (1936). bangsa ini telah diperpanjang untuk perawatan teori-teori ilmiah secara resmi oleh sneed (1971), yang menambahkan kelas penafsiran dimaksudkan untuk struktur secara resmi dari teori. Jadi perbedaan ungkapan matematika ke bagian terisolasi dan diskrit menyangkal mereka banyak signifikansi mereka dan semua makna semantik. ungkapan tersebut akibatnya memiliki sedikit tuduhan dianggap sebagai komponen "molekul" pengetahuan matematika.  
Bahkan lebih daripada di atas, ungkapan matematika informal wacana memiliki makna yang tersirat berkaitan dengan latar belakang teori dan konteks keseluruhan. Untuk aturan dan makna yang mengatur ekspresi seperti tidak memiliki ketentuan formal tepat, tetapi lebih bergantung pada aturan implicit/mutlak penggunaan (Wittgenstein, 1955). Model semantik bahasa baik formal dan informal semakin menarik konteks ujaran (barwise dan perry, 1982). Apakah diekspresikan dalam bahasa formal atau informal, ekspresi matematika tidak dapat dianggap sebagai berdiri sendiri, makna  bebas. Jadi matematika tidak dapat diwakili hanya sebagai satu set 'molekul' proposisi, karena ini tidak mewakili hubungan struktural antara proposisi, serta kehilangan maknanya tergantung pada konteks.




















II.         Investigasi, Pemecahan Masalah, dan Pedagogi

Bab 13 dalam buku The Philosophy of Mathematics Education berjudul Investigation, Problem Solving and Pedagogy membahas tentang inkuiri sebagai salah satu pendekatan dalam pengajaran matematika. Pemecahan masalah ( problem solving ) sendiri dipakai dalam kurikulum pendidikan matematika Indonesia, terlihat dari salah satu poin tujuan pembelajaran matematika sekolah yakni memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep danmengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

ISI BUKU THE PHILOSOPHY OF MATHEMATICS EDUCATION,CHAPTER 13:
INVESTIGATION, PROBLEM SOLVING AND PEDAGOGY

1.      Matematika sebagai Hasil Pengajuan dan Pemecahan Masalah Manusia

Di awal bab, Ernest menyebutkan beberapa pendapat ahli terkaitpembahasan masalah. Seperti pendapat Laudan bahwa pemecahan masalah akanmenjadi karakteristik penting dari metodologi ilmiah asalkan terjadi dalam konteks tertentu memungkinkan diskusi kritis. Ernest juga mengutip Hallett yang mengusulkan bahwa masalah harus memainkan peran kunci dalam evaluasi teori matematika. Lebih lanjut, bagi Hallett, teori-teori dan penelitian dalammatematika harus dilihat dari kacamata pragmatis dengan pertanyaan sejauhmana mereka membantu pemecahan masalah. Pendekatan ini mengakui pentingnya masalah dalam kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi lebih fokus pada “Pembenaran” dari pada penciptaan teori. Pendapat ini ditentang oleh Popper dengan yang lebih tidak memandang remeh arti penemuan dan pengembangan teori.
‎            Ernest juga menyebutkan bahwa logika deduktif sebagai ciri yang paling menonjol dari matematika, akhirnya berkembang dan makin menonjol seiring dengan munculnya teorema-teorema dan pembuktian. Pemakalah menangkap bahwa Ernest menonjolkan sisi logika deduktif matematika ini karena baginya matematika yang berawal dari pemecahan masalah sebagai matematika kontekstual, nampak bertolak belakang dengan konsep tradisional matematika tersebut. Selanjutnya Ernest menceritakan sejarah metode ilmiah dari sejak era Renaissance sampai dapat berdiri mapan seperti sekarang. Berikut tokoh yang dianggap penting oleh Ernest:
1.      Bacon mengusulkan metode induksi untuk sampai pada hipotesis, dimana hipotesis ini kemudian menjadi sasaran pengujian. Dalam rangka memfasilitasi usul hipotesis induktif, ia mengusulkan pembangunan tabel sistematis yang akan menunjukkan persamaan dan perbedaan dari hal yangditeliti.
2.      Descartes mengusulkan prosedur lanjut, yang secara eksplisit makin menujuke arah penemuan matematika. Termasuk di dalamnya adalah penyederhanaan pertanyaan, pencacahan berurutan, pemunculan contoh-contoh untuk memfasilitasi generalisasi induktif, penggunaan diagram untuk membantu pemahaman, simbolisasi hubungan, representasi hubungan dengan persamaan aljabar, dan penyederhanaan persamaan. Prosedur ini menginspirasi banyak prosedur yang diterbitkan 350 tahun kemudian sebagai alat bantu untuk mengajarkan pemecahan masalah.
3.      Whewell mengusulkan model penemuan dengan tiga tahap: (1) klarifikasi, (2) colligation (induksi), dan (3) verifikasi, yang masing-masing memiliki sejumlah komponen dan metode. Teori Whewell ini lebih banyak berkaitan dengan ilmu pengetahuan empirik, namun sangat bisa digunakan dalam matematika. Whewell sendiri adalah pengikut Kant yang percaya bahwa kebenaran yang diperlukan terjadi di dalam matematika dan ilmu pengetahuan.
4.      Adalah Polya yang akhirnya menginisiasi model pemecahan masalah untuk matematika, yakni (1) memahami masalah, (2) merancang rencana dan melaksanakannya, dan (3) melihat ke belakang (mungkin maksudnya mengevaluasi).

Sejarah proses penemuan dalam matematika tercatat sangat panjang dansebanding dengan penemuan manusia itu sendiri. PoincarĂ© dan Hadamard memberikan komentar bahwa peran intuisi dan kesadaran dalam penemuan - penemuauikikn matematika. Bagi mereka, matematikawan besar memiliki ruang-ruang matematis khusus yang memungkinkan mereka untuk menembus tabir  misterius sekitarnya, menembus 'realitas matematika', dan mencapai kebenaran sejati.
Selanjutnya, Ernest melihat kegiatan dan wacana matematika berlangsung pada tiga tingkat; matematika formal, matematika informal, dan matematika sosial. Dalam masyarakat Barat, dan khususnya, dalam budaya profesional matematika, pola ordinal ini dinilai dalam tingkatan yang menurun. Semisal wacana matematika formal disediakan untuk presentasi pembenaran matematika, yang menempati derajat tinggi. Wacana matematika informal berlangsung pada tingkat yang lebih rendah dan tentunya diberikan nilai yang lebih rendah. Sementara jika kita renungkan, aktivitas matematika dan kreativitas matematika secara alami terjadi pada tingkat informal, dan tentunya aktivitas ini memiliki status profesional yang lebih rendah. Bagi Ernest, istilah penganut konstruktivisme sosial disematkan pada orang yang menganggap bahwa dalam matematika terjadi hubungan antara subyektivitas dan obyektivitas pengetahuan. Hal ini berarti bagi penganut konstruktivisme sosial konteks penemuan (kreasi) dan pembuktian tidak bisa sepenuhnya dipisahkan. Pembuktian dalam matematika merupakan produk kreativitas manusia yang berwujud konsep, dugaan, dan teori.
Konstruktivisme sosial mengidentifikasi semua pelajar matematika sebagai pencipta matematika, namun hanya mereka yang mendapatkan persetujuan kritis masyarakat matematika yang dapat menghasilkan pengetahuan bonafid yaitu baru (Ernest menyebutnya matematika yang yang disahkan). Aktivitas matematika dari siapapun yang produktif serta melibatkan pengajuan dan pemecahan masalah, secara kualitatif tidak berbeda dari aktivitas profesional matematika lain.
Matematika non-produktif tidak menawarkan hal yang sama, karena pada dasarnya “reproduksi teori” adalah lawan dari “kreativitas”, dan Ernest menyebutnya dengan 'matematika beku'.

2.      "Masalah" dan Investigasi dalam Pendidikan
Mengingat bahwa sebagian besar dari matematika adalah bermula dari masalah manusia dan pemecahannya, maka pembahasan bab terakhir ini akan terkait dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip sebagai berikut:
·         Matematika sekolah harus bersumber dari masalah pengajuan dan pemecahan masalah manusia
·         Permintaan dan penyelidikan harus menempati posisi penting dalam kurikulum matematika sekolah.
·         Fakta bahwa matematika adalah fallible (dapat disahkan, tidak absolut) dan merupakan konstruksi manusia yang subyektif, hendaknya menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun kurikulum.
·         Pedagogi yang digunakan harus diawali dengan proses dan penyelidikan terfokus.
‎Salah satu hasil dari prinsip-prinsip ini bahwa istilah matematika untuk semua bergeser menjadi matematika oleh semua.
a.      “Masalah”dan Investigasi: Beberapa Perbedaan

Pembelajaran matematika dengan pemecahan masalah dan investigasi telah dikenal luas dalam dunia pendidikan matematika Inggris sejak Cockcroft (1982). Di belahan dunia lain, pemecahan masalah dapat ditelusuri lebih jauh ke masa lalu, setidaknya untuk Brownell (1942) dan Polya (1945), dan mungkin tokoh-tokoh sebelumnya. Pada tahun 1980, dalam tinjauan selektif penelitian dalam pemecahan masalah matematika, Lester (1980) mengutip 106 referensi penelitian, mewakili hanya sebagian kecil dari apa yang telah diterbitkan pada saat itu. Dalam pendidikan matematika Inggris, pemecahan masalah dan investigasi mungkin pertama kali muncul di tempat kejadian pada tahun 1960-an, dalam Asosiasi Guru Matematika (1966) dan Asosiasi Guru di Sekolah Tinggi dan Departemen Pendidikan (1967).
Salah satu kesulitan dalam membahas pembelajaran pemecahan masalah dan pembelajaran investigasi adalah bahwa konsep-konsep ini tidak jelas dan dipahami secara berbeda oleh penulis yang berbeda. Namun, ada kesepakatan bahwa dua hal tersebut berhubungan dengan matematika inkuiri (penemuan). Karenanya, pembahasan selanjutnya melangkah pada matematika berbasis inkuiri,mulai dari fokus, proses, sampai sisi pedagogisnya.

1)      Obyek Penemuan

Objek inkuiri adalah masalah dan titik awal investigasi. Salah satu definisi masalah adalah suatu situasi di mana seorang individu atau kelompok dipanggil untuk melakukan tugas, dimana tugas tersebut tidak memiliki carayang mudah untuk menentukan solusi. Perlu ditambahkan bahwa definisi ini mengasumsikan adanya keinginan dari individu atau kelompok untuk melakukan tugas tersebut' (Lester, 1980, halaman 287). Definisi ini menunjukkan masalah sebagai suatu tugas tidak biasa yang membutuhkan kreativitas untuk diselesaikan. Penyelesaian masalah ini akan memunculkan relativitas dari masing-masing orang. Maksudnya adalah tiap-tiap orang akan memunculkan ide-ide berbeda dalam usahanya memecahkan masalah tersebut. Ini akan berefek pula pada penyusunan kurikulum matematika, dimana penyusunan kurikulum pasti akan membawa siswa menuju satu definisi, algoritma, atau bahasa sederhananya rumus tertentu. Penyusunan kurikulum juga akan terkait dengan posisi siswa dalam belajar. Penyusunan kurikulum matematika akan terkait dengan posisi siswa sebagai individu dan kelompok. Siswa bukanlah suatu wadah kosong yang bias langsung diisi dengan aturan kurikulum tertentu. Siswa memiliki keunikan masing-masing sebagai individu, dan juga keunikan yang diakibatkan dari adat dan kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Secara lebih spesifik, bahwasanya tujuan pendidikan matematika bagi seorang guru dan siswa-siswanya adalah kompleks, sehingga sangat naif jika dilakukan simplifikasi ( penggampangan) dalam menyusun kurikulum.
‎            Sementara konsep investigasi dipermasalahkan karena dua sebab. Pertama, meskipun 'investigasi' adalah kata benda, namun sebenarnya kata investigasi memiliki makna yang berujung pada penemuan (inkuiri). Sebuah kamus mendefinisikan investigasi sebagai proses investigasi, pencarian, penemuan, pengujian sistematik, penelitian yang hati-hati. Dalam pendidikan matematika terjadi pergeseran makna, investigasi adalah sebuah penyelidikan matematika dengan pijakan awalnya adalah pertanyaan matematika atau situasi tertentu. Pengertian ini menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran yang bertugas merekayasa investigasi, yang tentunya bertolak belakang dengan pandangan siswa sebagai pusat pembelajaran, yang memandang investigasi sebagai aktivitas peserta didik. Masalah kedua adalah bahwa ketika penyelidikan dapat dimulai dengan situasi matematika atau pertanyaan, fokus kegiatan bergeser sebagai pertanyaan baru yang diajukan, dan situasi baru yang dihasilkan dan tereksplorasi. Di mana obyek penyelidikan bergeser dan didefinisikan ulang oleh penanya. Ini berarti bahwa itu adalah nilai terbatas untuk mengidentifikasi penyelidikan dengan situasi pembangkit aslinya.
Masalah kedua adalah ketika investigasi (penyelidikan) dimaknai sebagai kegiatan yang dimulai dengan munculnya situasi matematika atau pertanyaan tertentu, lalu bergeser pada pengajuan permasalahan baru, pemunculan situasi baru, dan eksplorasi situasi tersebut. Di sinilah obyek penyelidikan bergeser, berubah, dan didefinisikan ulang oleh peserta didik (inquirer). Sifat eksplorasi yang nampak liberal ini akan menyulitkan pendefinisian investigasi sebagai suatu aktivitas yang terkait dengan situasi pembangkit aslinya (dalam bahasa lain, dengan titik awal investigasi itu sendiri).
2)      Proses Penyelidikan
Jika masalah diidentifikasi sebagai pertanyaan, proses pemecahan masalah matematika adalah kegiatan mencari jalan untuk jawabannya.Namun proses ini tidak dapat mensyaratkan jawaban yang didapat akan tunggal dan unik, untuk sebuah pertanyaan mungkin akan memiliki beberapasolusi, atau tidak sama sekali. Semakin kompleks solusi yang didapat, berartitingkat permasalahan yang diajukan semakin tinggi. Dalam bahasa lain, pengertian pemecahan masalah adalah menemukan jalur menuju solusi, atau meminjam bahasa ilmu geografi adalah menemukan rute menuju tujuan yang diinginkan (dalam paragrap  selanjutnya kalimat rute menuju tujuan yang diinginkan ini akan disebut metafora geografis [terjemahan bebas penulis dari bahasa asli buku geographical metaphor ]).
Terkait dengan metafora ala ilmu geografi ini, Polya menjelaskan;
"Untuk memecahkan masalah adalah untuk menemukan cara dimana tidak ada cara yang dikenal, untuk mencari jalan keluar dari kesulitan, untuk menemukan jalan keluar dari halangan, untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang tidak segera dicapai, dengan cara yang tepat” (Krulik dan Reys, 1980, halaman 1).

Sejak era Nilsson (1971) telah muncul dasar bagi beberapa penelitian tentang pemecahan masalah dalam matematika, yang memanfaatkan gagasan tentang ruang solusi ( solution space ) atau ruang dari keadaan ( state-space) sebagai representasi dari masalah. Metafora geografis yang telah disebutkan di atas diwujudkan dalam bentuk  ilustrasi yang berbentuk diagram himpunan semua ruang yang dapat diperoleh dari keadaan awal. Keadaan awal suatu masalah sendiri adalah himpunan semua ekspresi yang telah diperoleh dari pernyataan awal masalah sampai saat tertentu (Lester, 1980, halaman 293). Kekuatan dari gagasan metafora geografis ini adalah semuaproses dapat semua langkah dalam proses dapat disajikan (dalam sebuah diagram; bahasa pemakalah: di-list ), dan jalur alternatif yang disebut proses tadi akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan langkah-langkah yang disajikan. Kelemahannya adalah semua kemungkinan yang muncul dari kondisi awal, bahkan kondisi-kondisi yang belum muncul, belum terpikir, atau bahkan yang tidak mungkin muncul tetap dipandang sebagai sesuatu yang belum muncul (as pre-existing) dan membutuhkan penemuan agar bisa muncul. Perlu dipahami bahwa gagasan investigasi dalam pengertian metafora geografis ini cenderung cocok untuk penganut absolutis daripada platonis (dalam koridor cara pandang terhadap matematika).
Metafora geografis juga diterapkan pada proses penyelidikan matematika. Penekanannya adalah pada mengeksplorasi bagian matematika ke segala arah. proses perjalanannya (bukan tujuannya) (Pirie, 1987, halaman 2). Di sini penekanannya adalah pada eksplorasi wilayah yang tidak diketahui, daripada perjalanan menuju ke tujuan tertentu. Jadi ketika proses pemecahan masalah matematika digambarkan sebagai konvergen, investigasi matematika adalah hal yang berbeda (HMI, 1985).
Bell et al. (1983) mengusulkan suatu model dari proses penyidikan, dengan empat langkah: merumuskan masalah, pemecahan masalah, verifikasi, integrasi. Menurutnya, “Di sini kata ‘investigasi‘ digunakan dalam upaya untuk menghimpun segala macam cara memperoleh pengetahuan. (Bell dkk., 1983, halaman 207). Mereka berpendapat bahwa penyelidikan matematika adalah bentuk khusus, dengan komponen karakteristiknya sendiri; yakni abstraksi, representasi, pemodelan, generalisasi, pembuktian,dan simbolisasi. Pendekatan ini memiliki ciri berupa penentuan sejumlah proses mental yang terlibat dalam investigasi matematika (dan Pemecahan masalah). Sementara penulis lain, seperti Polya (1945) berpendapat bahwa investigasi mencakup banyak komponen dari model sebagai proses pemecahan masalah. Perbedaan utama antara Polya dan Bell adalah masuknya perumusan atau pengajuan masalah (problem posing), yang mendahului pemecahan masalah. Namun, walau model yang diusulkan oleh dua tokoh tadi memiliki dasar empiris, tidak ada alasan dan justifikasi rasional yang dapat dijadikan acuan untuk memilih salah satu model.
3)      Pedagogi Berbasis Inkuiri

Dalam bab ini, Ernest membuat sebuah tabel untuk membedakan pendekatan penemuan terbimbing, pemecahan masalah, dan pendekatan investigasi, dipandang dari hal-hal yang dilakukan guru dan murid ketika menggunakan salah satu metode. Tabel 13.1. disajikan sebagai berikut.

Table 13.1: A Comparison of Inquiry Methods for Teaching Mathematics
 

















Diterjemahkan oleh pemakalah:
Metode
Hal yang dilakukan Guru
Hal yang dilakukan Siswa
Penemuan Terbimbing
·         Mengajukan masalah, atau memilih situasi dengan tujuan yang sudah dibayangkan.
·         Membimbing siswa menuju solusi atau tujuan tadi
Mengikuti petunjuk yang diberikan guru
Pemecahan Masalah
·         Mengajukan Masalah
·         Meninggalkan metode pencarian masalah terbuka untuk dicarikan sendiri oleh siswa
Mencari jalan sendiri untuk memecahkan masalah
Pendekatan Investigasi
Memilih situasi awal untuk mengarahkan siswa
·         Mendefinisikan siswa dengan situasi yang ada
·         Melakukan pemecahan dengan cara mereka sendiri

Tabel diatas menggambarkan pergeseran pembelajaran dari penemuan terbimbing, pemecahan masalah,dan pendekatan investigasi tidak hanya terkait dengan proses matematika. Pergeseran juga terjadi dalam ranah kontrol guru dalam hal jawaban, metode yang dipakai peserta didik, sampai pada konten materi pelajaran. Peserta didik lebih bisa menentukan solusi mana menerapkan metode dan solusi yang akan mereka pakai, bahkan bisa memilih konten pelajaran yang ingin mereka pelajari. mana menerapkan metode dan solusi yang akan mereka pakai, bahkan bisa memilih konten pelajaran yang ingin mereka pelajari. Pergeseran ke pendekatan yang lebih berorientasi penyelidikan melibatkan peningkatan otonomi pelajar dan aturan pembelajaran yang bebas ditentukan sendiri. Jika iklim kelas dengan aturan yang bebas dan ditentukan sendiri seperti ini bisa dijaga konsistensinya, siswa akan dapat dibimbing sampai pada tahap kemandirian untuk menentukan interaksi, aturan dalam kelas, dan akses ke berbagai bahan pembelajaran.
Pemecahan masalah dan investigasi matematika sebagai pendekatan pengajaran memerlukan pertimbangan konteks sosial kelas, da nmembutuhkan satu hubungan yang kuat antara guru dan siswa. Pemecahan masalah memungkinkan pelajar untuk berkreasi dalam pembelajaran dan dalam situasi yang baru, dengan guru masih mempertahankan kendali atas konten dan instruksi. Jika pendekatan investigasi diterapkan sampai tahap memungkinkan siswa untuk  mengajukan  masalah dan pertanyaan untuk selanjutnya diselidiki dengan cara yang relatif bebas, akan terjadi pembelajaran berbasis pemberdayaan (empowering) dan pelibatan siswa (emansipatoris). Namun, hal lain yang perlu diperhatikan adalah adalah komunikasi dalam pengalaman kelas dengan berbasis pada pandangan bahwa matematika itu progresif  dan fallible. Ini akan berakibat pada keunikan dan relatifitas dari masing-masing  jawaban dan metode yang diajukan siswa,bukan berpusat pada manusia yang aktif sebagai pembuat pengetahuan.
b.      Persepsi yang Berbeda terhadap “Masalah” dan Investigasi

Beberapa perbedaan yang sudah disebutkan dalam subbab sebelumnya menyebabkan perbedaan- perbedaan yang muncul dalam memahami Masalah dan Investigasi dan penggunaannya dalam pembelajaran matematika. Berikut perbedaan-perbedaan tersebut

1)      Penolakan terhadap Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi
Reaksi negatif terkuat untuk masalah dan investigasi muncul dari akibat pandangan bahwa pendekatan ini tidak pantas digunakan untuk matematika sekolah. Hal ini didasarkan pada persepsi bahwa matematika sekolah adalah konten yang berorientasi, dan bahwa fungsi utamanya adalah untuk menanamkan keterampilan matematika dasar. Pendekatan ini dipandang sebagai sesuatu yang sembrono, menyianyiakan waktu, dan sebuah kerja keras yang mubazir. Ini adalah respon dari kelompok yang memandang pendidikan sebagai lahan penyuplai kebutuhan industri. Kelompok ini secara sempit melihat isi matematika dengan epistemologi dualistik nya. Bagi mereka, pembelajaran adalah model transmisi otoriter, dan setiap usaha meningkatkan otonomi siswa dalam pembelajaran sangat ditentang.




2)      Penggabungan Pendekatan Pemecahan Masalah dan Investigasi Sebagai Konten
Kelompok kedua menganggap pendekatan ini perlu untuk dimasukkan sebagai konten dari kurikulum matematika. Kelompok ini memandang bahwa pendekatan ini dapat memperkaya konten matematika. Namun aliran absolut yang mereka anut membuat mereka mengabaikan penyelidikan sebagai salah satu unsur penting dalam pendekatan ini. Burghes (1984), yang mewakili perspektif ini, merumuskan investigasi dalam (1) penyelidikan eureka (teka-teki), (2) investigasi eskalator (‘proses’ atau masalah kombinatorial), (3) keputusan terhadap masalah dan (4) masalah nyata. Secara keseluruhan pendekatan pemecahan masalah dan investigasi diidentifikasi sebagai objek penyelidikan, dan diperlakukan sebagai tambahan isi kurikulum, ini terjadi  jika pemodelan matematika tidak dipahami sebagai suatu  proses.
3)      Pemecahan Masalah dan Investigasi Sebagai Pedagogi
Kelompok ketiga melihat pemecahan masalah dan investigasi sebagai pendekatan pedagogis dengan kurikulum keseluruhan, dan bukan hanya sebuah tambahan. Pandangan ini prihatin dengan peran manusia dalam perkembangan ilmu pengetahuan, dan karenanya mendukung proses pemecahan masalah dan investigasi masuk dalam kurikulum matematika. Penggabungan penuh proses ini ke dalam kurikulum, termasuk  problem posing, mengarah ke pedagogi pemecahan masalah dan pedagogi investigatif. Perspektif kelompok ini terfokus pada bagaimana memberikan fasilitasbagi pengembangan kreativitas individual peserta didik, dan pemecahan masalah dan investigasi dianggap mampu meewujudkannya. Jadi pemecahan masalah dan investigasi dipahami dari segi proses yang dialami siswa dan juga segi pendekatan pedagogis yang diadopsi di dalam kelas. Lingkungan belajar, situasi belajar, dan hal-hal lain terkait pembelajaran disusun dengan hati-hati terstruktur dan didesain agar memungkinkan terjadi eksplorasi matematika di dalamnya, serta memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengejar penyelidikan mereka sendiri. Peran guru dipahami sebagai manajer lingkungan dan sumber belajar, serta sebagai fasilitator pembelajaran. Materi dibatasi situasi matematika murni, dengan topik tematik yang 'aman' dari isu-isu politik. Penekanannya pada individu siswa dan minat siswa, bukan pada konteks sosial struktural tempat mereka akan hidup, akan belajar, dan akan mencari nafkah. Inilah yang membedakan kelompok ketiga dengan kelompok industrialis. Kelompok ini tidak  memandang pembelajaran matematika sebagai sebuah pembekalan keahlian -keahlian yang mereka butuhkan ketika nanti mereka bekerja, namun lebih memandang pembelajaran matematika sebagai pembelajaran yang memperhatikan minat siswa. Dalam kelompok ini, ada pula yang menambahkan dimensi sosial-politik dalam pertimbangan penyusunan kurikulum pembelajaran. Pedagogi yang diadopsi oleh pendekatan ini akan melibatkan sejumlah fitur menuju kearah investigasi, seperti tugas kooperatif berkelompok, diskusi, dan kemandirian siswa. Semua ini dapat dipergunakan bersama dengan perspektif pendidik progresif. Yang diperhatikan dalam pendekatan semacam ini adalah penggunaan masalah-masalah sosial yang relevan, dengan menggunakan berbagai bahan otentik seperti koran, statistik resmi, dan masalah sosial lain. Untuk pendidik masyarakat (mungkin bermakna penyuluh.), pedagogi ini bisa menjadi sarana untuk mengembangkan keterampilan kewarganegaraan dan keterlibatan sosial masyarakat.

c.       Hubungan antara Epistemologi dan Pedagogi
Sejumlah laporan resmi dan otoritatif yang dipublikasikan merekomendasikan penggabungan pemecahan masalah dalam pengajaran matematika sekolah. Contoh di Inggris adalah laporan Cockcroft (1982) dan Inspektorat Kerajaan (1985), sedang di Amerika Serikat adalah laporan dari NCTM (1980, 1989). Namun, salah satu hambatan bagi reformasi kurikulum tersebut adalah penafsiran yang berbeda terhadap berbagai publikasi ilmiah tersebut. Konsep pemecahan masalah dan investigasi tentu akan berasimilasi dengan perspektif penafsir, dan dipahami dengan caranya masing-masing. Performa guru dalam memakai pendekatan tergantung pada bagaimana guru memandang matematika. Bukti empiris menunjukkan bahwa guru dapat memberi penafsiran secara sempitpada pendekatan pemecahan masalah dan investigasi. Lerman (1989a), misalnya, menjelaskan bagaimana pendekatan investigasional dalam matematika sekolah ditumbangkan oleh pandangan bahwa hanya ada hasil tunggal yang benar dan unik (yang tentu saja diakibatkan oleh filosofi matematika absolute  yang masih dianut). Kendala kedua adalah implementasi. Kendala ini melibatkan hubungan antara teori-teori pengajaran dan pembelajaran, yang mendasari praktek pembelajaran di kelas. Pada skala besar, ini adalah perbedaan antara rencana dan kurikulum yang diajarkan. Pada skala kecil, kendala ini berupa perbedaan antar teori-teori yang dianut oleh masing-masing guru dalam melaksanakan pembelajaran. Beberapa studi telah mengungkapkan guru yang menganut pemecahan masalah sebagai pendekatan pengajaran matematika pada prakteknya hanyalah semacam espositori dengan ditambah penambahan masalah
(Cooney,1983; 1985, Thompson, 1984; Brown, 1986). Penyebabnya  adalah karena konteks sosial guru yang bersangkutan ikut andil dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Misalnya, adalah sulit bagi guru untuk merubah pakem pembelajaran yang sudah ada dalam suatu sekolah tertentu. Ernest menyebutkan bahwa dalam sekolah yang sama, guru-guru yang diteliti cenderung menggunakan praktek kelas yang sama, dan tidak mempertimbangkan bagaimana pandangan sang guru terhadap matematika. Singkatnya, keyakinan sang guru terhadap ideologi matematika tertentu masih kalah pengaruhnya dengan kondisi sosial tempat guru mengajar. Gambar 13.1 menunjukkan hubungan yang terlibat dalam keputusan praktik kelas yang diambil.
 











Gambar 13.1:
The relationship between espoused and enacted beliefs of the mathematics teacher

Gambar tersebut menunjukkan bahwa salah satu komponen ideologi guru, yakni pandangan filosofisnya terhadap matematika mendasari dua komponen sekunder, yakni teori mengajar dan belajar matematika. Dua komponen sekunder ini akan menjadi dasar diambilnya suatu model belajar, termasuk penggunaan sumber daya pembelajaran yang dipilih, termasuk teks matematika. Penting diketahui bahwa teks yang dipakai guru ketika melakukan pembelajaran menunjukkan alur pandangan epistemologinya, bagaimana melihat teks sebagai penentu penting sifat dari kurikulum yang diimplementasikan. Panah ke bawah pada gambar menunjukkan arah pengaruh utama. Isi dari komponen kepercayaan yang lebih tinggi tercermin dalam sifat komponen yang lebih rendah. Dan karena model berlaku saling terkait, seperti teori yang dianut belajar dan mengajar, maka garis horisontal ditarik antara mereka. Sebenarnya faktor yang dapat dimunculkan untuk menjelaskan berbagai masalah yang disebutkan di atas adalah konteks sosial dari pembelajaran itu sendiri. Konteks sosial memiliki pengaruh yang sangat besar. Konteks sosial yang dibicarakan di sini mencakup hal yang sangat luas, seperti karakteristik siswa itusendiri, harapan apa saja yang didapat dalam pembelajaran, kurikulum yang dilembagakan, sistem penilaian dan sistem persekolahan nasional. Konteks sosial-lah yang mengarahkan guru, dalam menyusun pembelajaran di kelas. Tentu model diilustrasikan dalam Gambar 13.1 masih sangat sederhana, karena sejatinya hubungan antar komponen pembelajaran jauh lebih kompleks dan jauh lebih mekanistik dari pada yang ada dalam gambar.


3.      Kelebihan Pembelajaran Berbasis Pemecahan Masalah

Pembelajaran berbasis pemecahan masalah, merupakan pendekatan pengajaran emansipatoris, dan ketika berhasil dilaksanakan, akan mampu memberdayakan peserta didik secara epistemologis (dalam arti peserta didik mengetahui darimana suatu konsep diperoleh). Hal ini dapat mendorong siswa aktif untuk mengetahui dan menciptakan pengetahuan sendiri, sekaligus melegitimasi pengetahuan itu sebagai matematika, setidaknya dalam konteks sekolah. Telah dikatakan bahwa itu adalah bentuk dan bukan isi dari pendidikan yang memiliki dampak terbesar untuk matematika. Pandangan ini ditentang dalam Bab 11, di mana dalam bab tersebut ada pendapat yang menganggap bahwa pandangan hirarkis terhadap pengetahuan berkontribusi pada pembentukan kembali jika bukan reproduksi kesenjangan sosial melalui pendidikan. Implikasi ini dari hal ini terkait dengan baik isi dan bentuk materi pengajaran, meskipun mungkin mustahil untuk berpikir bahwa dua hal ini dapat dipisahkan. Untuk mencerminkan sikap konstruktivis sosial (atau bahkan pandangan absolut progresif matematika), pedagogi jenis problem posing harus mencakup pula tinjauan terhadap konten serta pendekatan pengajaran.

a.      Melawan Reproduksi” dalam Kurikulum Matematika

Dari beberapa ideology yang muncul dalam buku ini, hanya pendidik progresif yang berideologi perubahan sosial. Ideologi ini berusaha untuk memberdayakan peserta didik untuk menjadi sadar dan kemudian mengambil kendali dari hidup mereka untuk menantang kekuatan reproduksi di tempat kerja, sekolah dan masyarakat. Cara yang bias dipakai untuk mencapai hal ini adalah melalui penggunaan problem posing dalam pembelajaran. Pendekatan ini mencoba untuk meminimalkan atau mengeksplisitkan hirarki kekuatan tersembunyi yang dicontohkan di dalam kelas, dimana hirarki ini memainkan peran penting dalam penerimaan diam-diam terhadap hirarki sosial yang ada dalam masyarakat. Persamaan Hak dalam Mempelajari Matematika Ada masalah-masalah khusus dari reproduksi sosial dalam masyarakat,yang mencakup persamaan hak bagi semua orang dalam hal matematika. Semua orang berhak mempelajari dan bahkan memunculkan teori baru tentang matematika, tidak terkecuali etnis-etnis minoritas, terutama kulithitam, dan wanita (dibahas dalam bab 12). Pedagogi problem posing, berbasis ideologi pendidik publik. Dapat menjadi solusi untuk masalah ini, dengan member kesempatan yang sama bagi kulit hitam dalam matematika dan sekolah. Karenanya masyarakat memerlukan pengajaran matematika yang anti-rasis. Demikian juga, untuk memperbesar peluang perempuan mengakses matematika, masyarakat memerlukan pembelajaran yang anti-seksis (tidak membeda-bedakan gender). Semua solusi ini bersandar pada pedagogi problem posing, yang diusulkan karena sifatnya yang memberdayakan semua peserta didik.

b.      “Menumbangkan” Tujuan Pembelajaran Sempit dalam Kurikulum

Pada subbab ini, Ernest bermaksud mengkritisi pengembangan kurikulum nasional di Amerika yang menurutnya adalah kurikulum yang bermaksud mematikan skill dan  mematikan profesionalisme guru (‘deskill’ and deprofessionalize teachers) jika ditinjau dari ketatnya konten dan cara evaluasi pembelajaran matematika yang ada di dalamnya. Bagi Ernest, pengembangan kurikulum matematika di Amerika bersumber pada ideologi utilitarian yang berbasis pada keyakinan bahwa pendidikan adalah  pemasok utama dari kebutuhan industri. Pemasukan dan pelembagaan pemecahan masalah dan cara penilaian hasil belajarnya (assessment ) ke dalam kurikulum matematika berfungsi untuk membiasakan cara berpikir matematika strategis, yang merampas sisi emansipatoris pemecahan masalah.  Dalam sub bab ini pula, Ernest ingin menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum tersebut, terdapat ambiguitas dan kontradiksi yang dapat menjadi celah bagi pembaca bukunya untuk mengcounter  dan melawan tujuan sempit ideologi utilitarian yang dianut kurikulum nasional Amerika. Konsep pemecahan masalah dan investigasi memiliki arti yang berbeda sesuai perspektif penafsiran masing-masing subyek. Perbedaan yang paling menonjol terdapat pada kelompok yang menganut penggunaan pendekatan  pemecahan masalah dan investigasi untuk sekedar mereproduksi pengetahuan matematika, dan kelompok yang menggunakannya dalam pembelajaran matematika berbasis pemberdayaan. Dari sini akan muncul perbedaan penting yang akan muncul dan bisa diperdebatkan, konsep relevansi penggunaan pendekatan ini dan keterkaitannya dengan pendidikan kewarganegaraan.
1)      Relevansi
Relevansi memiliki makna hal-hal yang menunjukkan apa yang dianggap tepat oleh seseorang. Perspektif utilitarian yang diwakili oleh kalangan industri memandang matematika sebagai satu kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh buruh, yang berakibat kurikulum matematika haruslah disusun sedemikian rupa sehingga mampu menelurkan pekerja-pekerja baru yang mampu menjadi sumber daya industri. Sementara bagipendidik progresif, matematika harus relevan dengan minat dan kebutuhan peserta didik. Kurikulum matematika yang relevan menurut perspektif ini harus memungkinkan peserta didik untuk terlibat secara matematis dalam konteks sosial mereka, dengan cara pembelajaran yang memberdayakan, yang membuat siswa secara mandiri mampu menyusun pembelajaran alam mereka sendiri. Dari sini nampak pertentangan dan ambiguitas antar kedua pandangan tersebut. Selanjutnya adalah ambiguitas dalam hal pendidikan kewarganegaraan. Satu pandangan berpendapat bahwa seorang warga negara dikatakan aktif jika ikut berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas soial yang ada dalam masyarakatnya dan patuh pada aturan. Pandangan ini sekali lagi adalah milik absolutis dan kaum pedagogi industrial. Seperti sebelumnya, pandangan ini bertentangan dengan pandangan kaum konstruktivis. Bagi kaum konstruktivis, dengan sistem pembelajaran berbasis pemecahan masalah, hendaknya ikut mendidik masyarakat untuk kritis dalam memahami berbagai kondisi, keteraturan, dan hal-hal lain yang nampak baik di mata sistemyang berkuasa. Pembelajaran kritis semacam inilah yang diharapkan dapat menjadi satu pola penyadaran bagi masyarakat sehingga tidak  di ninabobokkan oleh keteraturan yang ada. Bagi mereka, pedagogi problem posing, akan mampu memberdayakan peserta didik untuk dapat mengembangkan keterampilan yang luas, mampu terlibat dengan isu-isusosial kontemporer dan akhirnya menjadi warga negara kritis. Di titik inilah,aliran konstruktivis akan berlawanan arah dengan kaum utilitarian.
2)      Kontradiksi
Ernest dalam pembahasan mengenai kontradiksi mengawalinya dengan menyebut Kurikulum Nasional yang dibuat Pemerintah Inggris modern sebagai satu langkah keras dalam upaya mengambil alih sistem pendidikan dan untuk mendikte tujuan-tujuan dan hasilnya. Sempitnya tujuan yang dirumuskan kurikulum ini, bagi Ernest malah membuatnya nampak sebagai sesuatu yang anti-pendidikan.
Pendapat Ernest ini akan dapat kita pahami jika kita mengacu pada pertanyaan, apakah tujuan pendidikan itu? Pertanyaan ini telah diulas dalam bab 6, dalam subbab 2 (Aims in Education: An Overview). Secara ringkas, misalnya kaum industrial trainer meyakini pendidikan sebagai suatu transfer pengetahuan dalam upaya pemenuhan kebutuhan industri, dan kaum humanis tua yang berpendapat pendidikan adalah substrukstur dari upaya pelanggengan terhadap nilai, kultur, ataupun struktur sosial yang ada. Bagi Ernest, tujuan pendidikan semacam ini sangat sempit dan cenderung anti pendidikan itu sendiri. Menurut pemakalah, Ernest cenderung masuk dalam golongan konstruktivis yang memandang pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia.
Sekali lagi, Ernest membenturkan kaum industri dan teknologis-pragmatis di satu sisi, dengan pendidik konstruktivis di sisi yang lain. Bagi Ernest, penggunaan pendekatan pemecahan masalah dalam kurikulum nasional akan memunculkan kontradiksi. Kontradiksi yang muncul disebabkan karena sifat pendekatan ini akan berhadapan diametral dengan ideologi kaum industri yang menjadi pendukung utama susunan kurikulum nasional saat ini.
Ernest selanjutnya menyebutkan masih mungkinnya pembelajaran berbasis pemecahan masalah bangkit dan digunakan di tengah kurikulum yang didesain oleh kaum industrialis. Bagi Ernest, meskipun kurikulum nasional dalam matematika memberikan aturan yang cenderung kaku dalam hal konten materiyang diajarkan dan cara mengevaluasinya, namun tetap saja ada celah-celah yang dapat dimasuki oleh model pembelajaran pemecahan masalah. Terbukti saat ini dewan penyusun kurikulum (entah di Inggris atau Amerika yang ia maksud), telah menyarankan penggunaan pendekatan pembelajaran ini.
Menurut Ernest, kontradiksi dalam sebuah sistem pendidikan dapat digunakan untuk menumbangkan kekuatan ideologi industrialis yang melekatdalam kurikulum tersebut melalui pedagogi problem posing. Namun, untuk sampai pada tingkat pembelajara emansipatoris, pembelajaran harus berhasil dalam melibatkan peserta didik. Pembelajaran tersebut harus didasarkan pada pengakuan peserta didik dan guru sebagai agen epistemologis. Ernest mengakhiri bab ini dengan menyebut guru sebagai faktor yang akan menentukan pembelajaran problem posing, dimana guru tidak hanya berposisi sebagai pengaajar, namun juga sebagai insan peneliti yang akan memberikan kontribusi teoritik dalam kajian pembelajaran ini.

4.      Kesimpulan


Tema bab ini adalah refleksi dari hakekat matematika sebagai aktivitas pemecahan masalah dan pembelajaran dengan basis pemecahan masalah sebagai pembelajaran yang emansipatoris. Dengan pendekatan ini, tujuan pembelajaran matematika akan bergeser pada tingakat sosial yang yang lebih tinggi, yang termasuk di dalamnya; pemenuhan potensi manusia, kesadaran sosial dan kebutuhan untuk perubahan sosial, serta perlawanan terhadap ketidakadilan, khususnya ketidakadilan dalam ras dan gender. Tujuan pendidikan semacam ini tidaklah bertentangan dengan perkembangan individual manusia dan pengembangan kreativitas matematika. Masing-masing dari ideologi pendidikan matematika didorong oleh filsafat matematika tertentu yang Pastinya akan berekses pada kurikulum pembelajaran matematika. Inilah bahasan utama dari buku ini, yakni berusaha menguji pernyataan: Suka atau tidak, semua proses pembelajaran matematika berpijak pada filsafat matematika (Thom, 1971, p. 204) Dan juga untuk menjawab argumen : Masalahnya, bukanlah tentang pertanyaan bagaimana cara terbaik untuk mengajar? namun, apakah sesungguhnya matematika itu? Kontroversi tentang mengajar tidak bisa diselesaikan tanpa berhadapan dengan masalah tentang sifat matematika. (Hersh, 1979,p.34).