Translate

Kamis, 22 Agustus 2013

Penilaian Keterampilan Abad 21


Penilaian Keterampilan Abad 21
Kemitraan untuk Keterampilan Abad 21 e-paper

Mengapa kita membutuhkan penilaian keterampilan abad ke-21?
Penilaian siswa, apakah dengan tes standar atau tindakan berbasis kelas, adalah landasan pengajaran dan pembelajaran yang efektif. Secara keseluruhan, baik penilaian tidak hanya dapat memberikan ukuran yang dapat diandalkan dan valid siswa pembelajaran dan pemahaman, tetapi juga membantu membimbing para guru dan siswa pada sehari-hari dasar.
Selama dua dekade terakhir, penilaian telah memainkan peran sentral dalam pendidikan kebijakan di Amerika Serikat, seperti yang telah di negara-negara lain selama beberapa dekade. Besar- skala, penilaian sumatif, misalnya, dipandang sebagai pengungkit yang kuat untuk mempengaruhi apa yang terjadi di sekolah dan ruang kelas, dan dengan demikian, penilaian Studi secara rutin dilakukan untuk mengukur kekuatan dan kelemahan siswa. Selanjutnya, dengan berlalunya No Child Left Behind Act of 2001, pengujian telah menjadi tidak hanya lebih rutin tetapi juga semakin berpengaruh dan berfokus pada domain isi inti. Hasil dari sumatif skala besar penilaian, bersama dengan langkah-langkah lain pencapaian, secara teratur digunakan untuk menentukan apakah siswa dapat maju ke kelas berikutnya, dan untuk menilai kualitas sekolah dan pendidik yang bekerja di dalamnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, pendidik, pemimpin bisnis, dan pembuat kebijakan di AS memiliki mempertanyakan apakah desain saat ini sistem penilaian berfokus terlalu banyak pada kemampuan mengukur siswa untuk mengingat fakta diskrit menggunakan tes pilihan ganda di biaya tidak cukup mengukur kemampuan siswa untuk terlibat dalam dan lengkap berpikir kompleks dan tugas pemecahan masalah. Pengamat luar dari sekolah AS Sistem telah cepat untuk dicatat potensi kelemahan, mengklaim bahwa sempit terfokus sistem penilaian berisiko tinggi menghasilkan yang terbaik hanya keuntungan mahasiswa ilusi (Ridgeway, McCusker dan PEAD 2004). Hasil akhirnya adalah kesenjangan antara siswa pengetahuan dan keterampilan yang memperoleh di sekolah dan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk berhasil dalam semakin global, teknologi-infused abad ke-21 tempat kerja. Sementara lanskap penilaian saat penuh dengan penilaian bahwa pengetahuan ukuran bidang isi inti seperti seni bahasa, matematika, IPA dan IPS, ada kurangnya komparatif penilaian dan analisis difokuskan pada keterampilan abad ke-21. Tes saat jatuh pendek dalam beberapa cara kunci:
         Tes tidak dirancang untuk mengukur seberapa baik siswa menerapkan apa yang mereka ketahui dengan situasi baru atau mengevaluasi bagaimana siswa dapat menggunakan teknologi untuk memecahkan masalah atau ide berkomunikasi.
         guru dan sekolah Sementara diminta untuk memodifikasi praktek mereka berdasarkan Data tes standar, tes tidak dirancang untuk membantu guru membuat keputusan tentang bagaimana untuk menargetkan instruksi mereka sehari-hari.
         sistem pengujian sekarang jarang dirancang untuk mengukur sekolah atau kabupaten kontribusi belajar dari hari pertama siswa sampai hari terakhir nya.
Memenuhi tuntutan dunia saat ini membutuhkan perubahan dalam strategi penilaian untuk mengukur keterampilan sekarang dihargai dalam lingkungan global yang kompleks. Kemitraan untuk Keterampilan abad ke-21 percaya bahwa pergeseran tersebut sangat penting untuk adopsi Keterampilan abad ke-21 di sekolah-sekolah kita. Kita harus bergerak dari terutama mengukur diskrit pengetahuan untuk mengukur kemampuan siswa untuk berpikir kritis, memeriksa masalah, mengumpulkan informasi, dan membuat informasi, beralasan keputusan saat menggunakan teknologi. Selain berpose tantangan dunia nyata, penilaian tersebut harus menerima berbagai solusi untuk tugas. Sebagai contoh, salah satu penilaian kemungkinan abad ke-21 keterampilan akan lebih fokus pada keterampilan operasional siswa, seperti keahlian dalam menggunakan berbagai sumber secara tepat dan efisien, bukan pada apakah atau tidak respon yang benar diajukan.
Dengan pengeluaran untuk pengembangan asesmen di Amerika Serikat saja diperkirakan akan tumbuh ke dalam miliaran dolar dekade ini, sangat penting bahwa investasi kami tidak berfokus hanya pada pemenuhan persyaratan federal, tetapi pada mempersiapkan anak-anak sekarang menghadapi tantangan masyarakat yang kompleks besok dan tempat kerja.
Bagaimana penilaian sumatif dan formatif berbeda satu sama lain - Dan bisa mereka berdua mendukung keterampilan abad ke-21?
Penilaian keterampilan abad ke-21, seperti penilaian secara umum, jatuh di bawah dua luas
Kategori: sumatif dan formatif. Semua pendidik harus akrab dengan tes sumatif, salah satu contoh umum adalah Nasional Penilaian Kemajuan Pendidikan (NAEP) tes untuk membaca, matematika, sains, menulis, AS sejarah, kewarganegaraan, geografi, dan seni. Ada juga kelas sumatif penilaian itu, dibandingkan dengan penilaian NAEP, dikelola lebih sempit dan lebih sering. Idealnya, penilaian sumatif dari abad ke-21 keterampilan harus diberikan pada akhir unit pembelajaran dan memberikan akuntabilitas serta ukuran berapa sekolah, kabupaten, dan negara-negara yang maju dalam hal mencapai abad ke-21 keterampilan kompetensi siswa mereka.
Penilaian formatif, sebaliknya, adalah proses yang terjadi selama pembelajaran dengan kegiatan yang berkisar dari tugas kinerja, dengan bijaksana dan menyeluruh (meskipun belum tentu panjang) percakapan antara guru dan siswa. Kemitraan Keterampilan Abad 21 percaya penilaian formatif, bersama dengan sumatif penilaian, harus menjadi bagian dari setiap sekolah atau strategi penilaian secara keseluruhan kabupaten karena mereka secara integral terkait dengan mengajar dan belajar. Mempertimbangkan manfaat penilaian formatif:
         Alih-alih hanya memeriksa prestasi siswa, formatif efektif
        Penilaian benar-benar dapat meningkatkan itu. Selama penilaian formatif, fokusnya adalah pada membuat proses berpikir siswa terlihat, sehingga guru dapat beradaptasi mengajar strategi untuk lebih memenuhi kebutuhan siswa. Hitam dan Wiliam (1998) menjelaskannya dengan cara ini: "[An] penilaian formatif menjadi penilaian ketika bukti tersebut benar-benar digunakan untuk menyesuaikan pengajaran untuk memenuhi mahasiswa perlu. "
         Tes formatif baik secara jelas menentukan tujuan pembelajaran dari unit instruksional, dan mengajak siswa untuk model perilaku mereka agar sesuai kriteria tersebut dan menjadi lebih banyak informasi tentang diri mereka sendiri.
         Sebagai siswa menjadi lebih sadar akan apa dan bagaimana mereka belajar, mereka menjadi lebih termotivasi. Oleh karena itu pendidik perlu membangun penilaian untuk belajar, bukan penilaian pembelajaran. (Stiggins dan Chappuis, 2006; Quellmalz dan Kozma, 2003).
Ahli pendidikan merekomendasikan pendekatan yang seimbang untuk menggunakan formatif dan penilaian sumatif dan advokat bahwa kedua jenis yang penting dalam rangka mengoptimalkan proses belajar mengajar. Penilaian harus dilihat baik sebagai instruksional alat untuk digunakan sambil belajar terjadi (formatif), dan sebagai alat pertanggungjawaban kepada menentukan apakah pembelajaran telah terjadi (sumatif). Kedua fungsi penting dan harus digunakan dalam konser di kelas. Sebuah contoh dari konsep ini dalam praktek adalah Departemen Wisconsin Sistem Penilaian Seimbang Instruksi Umum, yang terdiri dari sebuah kontinum penilaian yang mencakup formatif, sementara, dan varietas pengujian skala besar. Tes formatif digunakan dalam dan di antara pelajaran untuk membantu pendidik menentukan langkah selanjutnya dalam pelajaran; patokan interim penilaian diberikan dalam dan di antara unit-unit instruksional untuk mengidentifikasi kekuatan dan kesenjangan dalam pengajaran dan kurikulum, dan penilaian skala besar diberikan setiap tahun atau dua tahun sekali untuk mengukur sekolah, kabupaten, dan / atau kemajuan negara.

LEARNING & LEARNER


Seperti yang kita mempertimbangkan transformasi diperlukan pendidikan abad ke-21, kita bisa mengakui dua hal: (1) Sebagai masyarakat, kami telah berada di tempat ini sebelumnya, dan (2) tidak ada salah satu yang harus disalahkan untuk kebutuhan saat ini untuk mengubah. Dunia, sekali lagi, telah berubah. Dan pendidikan perlu, "diatur tepat lagi."
Hari ini, semua orang perlu kuat, kemampuan berpikir yang ketat dan keterampilan. Belajar adalah Fitur utama dari masyarakat pengetahuan. Mengetahui bagaimana belajar, yang terinspirasi untuk melanjutkan belajar dan belajar bersama sangat penting di dunia saat ini, seperti kemampuan untuk membangun pada ide-ide lain, bekerja sama untuk memecahkan masalah, isu-isu, dan berpose baru masalah atau pertanyaan. Kegiatan-kegiatan tersebut, tertanam dalam bidang hidup pengetahuan, mendasar mengubah guru apa yang saat ini dibutuhkan untuk menghabiskan waktu mereka melakukan di bawah garis pengiriman model konten perakitan. Dan itu fundamental mengubah apa siswa saat ini diharuskan untuk menghabiskan waktu mereka lakukan di bawah yang usang model menerima dan muntah konten. Kurt Fischer (2008) dari Universitas Harvard Pikiran, Otak dan Institut Pendidikan mengingatkan kita bahwa "Kami tidak otak tanpa tubuh dalam ember duduk di sudut. Dan juga, kita tidak belajar dengan memiliki informasi yang terjebak ke otak kita. Ini tidak bekerja seperti itu. Kami harus belajar lebih aktif dari itu. Jadi tidak benar yang dapat Anda plug dunia ke dalam otak dan dengan demikian tahu segalanya. Sebaliknya, pengetahuan harus dibangun "(paragraf 12). Kami ingin membangun ide Fischer karena , sekali lagi, terlalu mudah untuk membacanya tanpa mengganggu perakitan warisan-lebih belajar aktif perlu dibarengi dengan dan pemahaman apa yang sedang dipelajari sebagai bidang hidup yang akan membatasi dan mengajarkan kegiatan yang untuk menjadi bijaksana, disiplin dan hati-hati apa bidang yang menuntut itu.
Temuan ini memiliki implikasi yang signifikan sebagai pendidik mencari cara untuk merancang kurikulum untuk abad 21. Ketika belajar ditandai dengan bertanya, mempertanyakan, berpikir, mengatur dan mengartikulasikan-dan ketika masing-masing ditandai sebagai menyelidiki sesuatu dalam cara yang tepat untuk disiplin hidup pengetahuan kemudian siswa memerlukan kapasitas dan ruang untuk mengeksplorasi, menantang, menganalisis, kritik dan buat selalu dan selalu dalam bidang pengetahuan yang membantu menumbuhkan mereka kapasitas dan membantu siswa dan guru belajar jalan di sekitar hidup
lanskap mengetahui. Seiring dengan perubahan dalam bagaimana kita memahami pembelajaran dan kurikulum, seluruh array inisiatif pendidikan yang terkait perlu peninjauan kembali:
    1. Penaksiran
    2. Sumber Daya
    3. Pengembangan Profesional
    4. Pendidikan Guru
    5. Sekolah dan Kepemimpinan Kabupaten
    6. Kebijakan Pendidikan
Jelas masing-masing ini telah dipengaruhi oleh warisan Taylorisme dan perlu dipikirkan kembali cara-cara yang mencabut warisan ini.
Kurikulum untuk abad 21st harus dirancang untuk mengatasi apa yang sekarang kita memahami tentang pembelajaran dan cara-cara di mana pembelajaran dan pengajaran, peserta didik dan guru, selalu ditempatkan dalam lanskap hidup pengetahuan.

Selasa, 20 Agustus 2013

PENDEKATAN OPEN ENDED


Pendekatan open-ended adalah "an instructional strategy that creates interest and stimulates creative mathematical activity in the classroom through students’ collaborative work. Lessons using open-ended problem solving emphasize the process of problem solving activities rather than focusing on the result" (Shimada &Becker, 1997; dan Foong, 2000). 
   
   Pendekatan open-ended prinsipnya sama dengan pembelajaran berbasis masalah yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang dalam prosesnya dimulai dengan memberi suatu masalah kepada siswa. Bedanya Problem yang disajikan memiliki jawaban benar lebih dari satu. Problem yang memiliki jawaban benar lebih dari satu disebut problem tak lengkap atau problem open-ended atau problem terbuka. Contoh penerapan problem open-ended dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika siswa diminta mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan dan bukan berorientasi pada jawaban akhir. Dihadapkan dengan problem open-ended  siswa tidak hanya mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai pada suatu jawaban. Pembelajaran dengan pendekatan open-ended biasanya dimulai dengan memberikan problem terbuka kepada siswa. Kegiatan pembelajaran membawa siswa dalam menjawab pertanyaan dengan banyak cara dan mungkin juga dengan banyak jawaban sehingga mengundang potensi intelektual dan pengalaman siswa dalam menemukan sesuatu yang baru.

  Tujuan pembelajaran melalui pendekatan open-ended  yaitu untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif  dan pola pikir matematis siswa melalui problem solving secara simultan. Dengan kata lain kegiatan kreatif dan pola pikir matematis siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan setiap peserta didik agar aktivitas kelas yang penuh ide-ide matematika memacu kemampuan berfikir tingkat tinggi peserta didik.

  Pendekatan open-ended menjanjikan suaru kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa dapat terkomunikasikan melalui proses belajar mengajar. Pokok  pikiran dari pembelajaran dengan open-ended yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi. Dengan kata lain pembelajaran matematika dengan pendekatan open-ended bersifat terbuka.

  Dalam pembelajaran matematika, pendekatan open-ended berarti memberikan kesempatan pada siswa untuk belajar melalui aktivitas-aktivitas real life dengan menyajikan fenomena alam seterbuka mungkin pada siswa. Bentuk penyajian fenomena dengan terbuka ini dapat dilakukan melalui pembelajaran yang berorientasi pada masalah atau soal atau tugas terbuka. Secara konseptual masalah terbuka dalam pembelajaran Matematika adalah masalah atau soal-soal Matematika yang dirumuskan sedimikian rupa, sehingga memiliki beberapa atau bahkan banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu.

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended mengasumsikan tiga prinsip, yakni sebagai berikut :
1.      Related to the autonomy of student’ activities. If requires that we should appreciate the value of student’ activities for fear of being just non-interfering.
2.      Related to evolutionary and integral nature of mathematical knowledge. Content mathematics is theoretical and systematic. Therefore, the more essential certain knowledge is, the more comprehensively it derives analogical, special, and general knowledge.
3.       Related to teachers’ expedient decision-making in class. In mathematics class, teachers often encounter students’ unexpected ideas. In this bout, teachers have an important role to give the ideas full play, and to take into account that other students can also understand real amount of the unexpected ideas.
Jenis Masalah yang digunakan dalam pembelajaran melalui pendekatan open-ended ini adalah masalah yang bukan rutin yang bersifat terbuka. Sedangkan dasar keterbukaanya (openness) dapat diklasifikasikan kedalam tiga tipe, yakni : Process is open, end product are open dan ways to develop are open. Prosesnya terbuka maksudnya adalah tipe soal yang diberikan mempunyai banyak cara penyelesaian yang benar. Hasil akhir yang terbuka, maksudnya tipe soal yang diberikan mempunyai jawaban benar yang banyak (multiple), sedangkan cara pengembang lanjutannya terbuka, yaitu ketika siswa telah selesai menyelesaikan masalahnya, mereka dapat mengembangkan masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli). Dengan demikian pendekatan ini menyelesaikan masalah dan juga memunculkan masalah baru (from problem to problem).

Pembelajaran dengan pendekatan Open-ended mengharapkan siswa tidak hanya mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada proses pencarian suatu jawaban. Pendekatan open-ended menjanjikan suatu kesempatan kepada siswa untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasi melalui proses belajar mengajar. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktifantara siswa dan matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi. Perlu digarisbawahi bahwa kegiatan matematik dan kegiatan siswa disebabkan terbuka jika memenuhi tiga aspek berikut.
1.    Kegiatan siswa harus terbuka
Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai dengan kehendak mereka. Misalnya, guru memberikan permasalahan seperti berikut kepada siswa: Dengan menggunakan berbagai cara, hitunglah jumlah sepuluh bilangan ganjil pertama mulai dari satu! Dengan begitu siswa berkesampatan melakukan beragam aktivitas untuk menjawab permasalahan yang di berikan sesuai dengan pikiran dan kemampuannya.
2.    Kegiatan matematik adalah ragam berpikir
Kegiatan matematika adalah kegiatan yang di dalamnya terjadi proses pengabstraksian pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia matematika atau sebaliknya. Pada dasarnya kegiatan matematik akan mengundang proses manipulasi dan manifestasi dalam dunia matematika.
3.    Kegiatan siswa dan kegiatan matematik merupakan satu kesatuan.
Kegiatan siswa dan kegiatan matematik dikatakan terbuka secara simultan dalam pembelajaran, jika kebutuhan dan berpikir matematik siswa terperhatikan guru melalui kegiatan-kegiatan matematik yang bermanfaat untuk menjawab permasalahan lainnya. Dengan kata lain, ketika siswa melakukan kegiatan matematika untuk memecahkan permasalahan yang diberikan, dengan sendirinya akan mendorong potensi mereka untuk melakukan kegiatan matematikpada tingkatan berpikir yang lebih tinggi. Dengan demikian, guru tidak perlu mengarahkan agar siswa memecahkan permasalahan dengan cara atu pola yang sudah ditentukan, sebab akan menghambat kebebasan berpikir siswa untuk menemukan cara baru menyelesaikan permasalahan.

Langkah penting yang harus dikembangkan guru dalam pembelajran melalui pendekatan open-ended adalah menyusun rencana pembelajaran. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran sebelum problem tersebut disampaikan kepada siswa, yakni:
a.    Apakah masalah tersebut kaya dengan konsep-konsep matematika dan bernilai?
Masalah (problem) harus mendorong siswa untuk berfikir dari berbagai sudut pandang. Disamping itu juga harus kaya dengan konsep-konsep matematika yang sesuai untuk siswa yang berkemampuan tinggi maupun rendah dengan menggunakan berbagai strategi sesuai kemampuannya.
b.    Apakah level matematika dari masalah (problem) itu cocok untuk siswa?
Pada saat siswa menyelesaikan problem open-ended, mereka harus menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang mereka punyai. Jika guru memprediksi bahwa persoalan itu diluar jangkauan siswa, maka problem itu harus diubah/diganti dengan problem yang berada dalam wilayah pemikiran siswa.
c.    Apakah problem itu mengundang pengembangan konsep matematika lebih lanjut?
Problem harus memiliki keterkaitan atau dihubungkan dengan konsep-konsep matematika yang lebih tinggi sehingga dapat memacu siswa untuk berfikir tingkat tinggi.
Apabila kita telah memformulasi problem mengikuti kriteria yang telah dikemukakan, langkah selanjutnya adalah mengembangkan rencana pembelajaran yang baik. Pada tahap ini hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a.    Tuliskan respon siswa yang diharapkan
Siswa diharapkan merespon problem open-ended dengan berbagai cara. Oleh karena itu guru harus menuliskan daftar antisipasi respon siswa terhadap problem. Karena kemampuan siswa dalam mengekspresikan idea tau pikirannya terbatas, mungkin mereka tidak akan mampu menjelaskan aktivitas mereka dalam memecahkan problem itu. Namun mungkin juga mereka mampu menjelaskan ide-ide matematika dengan cara berbeda. Dengan demikian antisipasi guru membuat banyak kemungkinan respon yang dikemukakan siswa menjadi penting dalam upaya mengarahkan dan membantu siswa memecahkan permasalahan sesuai dengan cara kemamapuan siswa.
b.    Tujuan dari problem itu diberikan harus jelas
Guru harus memahami peranan problem itu dalam keseluruhan rencana pembelajaran. Problem dapat diperlakukan sebagai topik yang independen, seperti dalam pengenalan konsep baru, atau sebagai rangkuman dari kegiatan belajar siswa. Dari pengalaman, problem open-ended efektif untuk pengenalan konsep baru atau dalam rangkuman dari kegiatan belajar.
c.    Sajikan problem semenarik mungkin.
Konteks permasalahan yang diberikan harus dikenal baik oleh siswa dan harus membangkitkan semangat intelektual. Karena problem open-ended memerlukan waktu untuk berfikir dan mempertimbangkan, maka problem itu harus mampu menarik perhatian siswa.
d.   Lengkapi prinsip posting problem sehingga siswa memahami dengan mudah maksud dari problem itu.
Problem harus diekspresikan sedemikian sehingga siswa dapat memahaminya dengan mudah dan menemukan pendekatan pemecahannya. Siswa dapat mengalami kesulitan jika eksplanasi problem terlalu ringkas. Hal ini dapat timbul karena guru bermaksud memberikan kebebasan yang cukup bagi siswa untuk memilih cara dan pendekatan pemecahan masalah atau bisa diakibatkan siswa memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki pengalaman dalam belajar karena terbiasa mengikuti petunjuk-petunjuk dari buku teks. Untuk menghindari kesulitan yang dihadapi siswa seperti ini, guru harus memberikan perhatian khusus menyajikan atau menampilkan problem.
e.    Berikan waktu yang cukup kepada siswa untukmengeksplorasi problem.
Kadang-kadang waktu yang diberikan tidak cukup dalam menyajikan problem pemecahannya, mendiskusikan pendekatan dan penyelesaian, dan merangkum apa yang telah siswa pelajari. Oleh karena itu guru harus memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk mengeksplorasi problem. Berdiskusi secara aktif anatara siswa dan antara siswa dengan guru merupakan interaksi yang sangat penting dalam pembelajaran open-ended. Guru dapat membuat dua periode waktu untuk satu problem open-ended. Periode pertama, siswa bekerja secara individual atau kelompok dalam memecahkan problem dan membuat rangkuman dari proses penemuan yang mereka lakukan. Kemudian periode kedua, digunakan untuk diskusi kelas mengenai strategi dan pemecahan serta penyimpulan dari guru, dari pengalaman pembelajaran seperti ini terbukti efektif.



Pembelajaran Matematika Realistik (RME)


Pendidikan matematika realistik  atau Realistic Mathematics Education (RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan kurang bermakna  bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld  dan Goffre  (1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal  (1977) tentang matematika. Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap
masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan.  Selain memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk “dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Freudental,1968). 
            Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya (Freudenthal, 1991).

            Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu.
            Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam matematika dapat dibedakan menjadi empat yaitu, mekanistik, empiristik, struturalistik, dan realistik.
            Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisonal dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalamn sendiri (diawali dari yang lebih sederhana sampai ke kompleks) dalam pendekatan ini siswa dianggap sebagai mesin.
            Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep – konsep matematika tidak diajarkan dan diharapkan siswa mampu menemukan melalui matematika horizontal. Pendekatan mekanis dan empiris tidak banyak diajarkan di lingkungan sekolah.
            Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang yang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
            Pendekatan realistik merupan pendekatan dengan menggunakan metode matematisasi horizontal dan vertikal dan mendekatan ini sebagai pangkal tolak pembelajaran.
            Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah metode pembelajaran matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Selanjutnya siswa diberi kesempatan mengpalikasikan konsep – konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari – hari atau dalam bidang yang lainnya. Pembelajaran ini sengat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah.
Ada tiga unsur prinsip utama dalam pembelajaran Matematika realistik yaitu : a) guided reinvention and progresive mathematizing , b) didactical phenomenology dan c) self – developed models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.                  Guided reinvention and progresive mathematizing (penemuan kembali terbimbing / pematematikaan progresif)
            Prinsip ini menghendaki bahwa dalam Pembelajaran Matematika realistik, dari masalah konstektual yang diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelasaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus itu ditemukan. Prinsip ini mengacu pada pandangan konstruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru, melainkan dari siswa sendiri.

2.         Didactical phennomenology (fenomena pembelajaran)
            Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki          bahwa di dalam menentukan masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan metode pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua alasan, yaitu : a) untuk mengungkap berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, b) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah konstektual itu digunakan sebagai poin – poin untuk suatu proses pematematikaan progresif. Dari penjabaran di atas menunjukan bahwa prinsip ke 2 Pembelajaran matematika Realistik ini menekankan pada pentingnya masalah konstektual untuk memperkenalkan topik – topik matematika kepada siswa.

3.         Self development models ( model – model dibangun sendiri)
Menurut prinsip ketiga, model – model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan pengetahuan informal dan formal matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa diberi kebebasan untuk menemukan sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensinya sangat dimungkinkan mucul berbagai model matematika yang dibangun siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari penemuan ulang dan sekaligus menunjukan bahwa sifat bottom up( dari bawah ke atas) mulai terjadi. Model – model tersebut diharapkan untuk mampu mengubah kepada bentuk matematika yang formal. 
Pembelajaran Matematika Realistis mencerminkan pandangan matematika tertentu mengenai bagaimana anak belajar matematika dan bagiamana matematika harus diajarkan. Pandangan ini tercermin dalam enam karakteristik yaitu : kegiatan, nyata, bertahap, saling menjalin, interaksi, dan bimbingan.
1.                  Kegiatan
Peserta didik harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam proses pengembangan seluruh perangkat perkakas dan wawasan matematis sendiri. Dalam hal ini peserta didik dihadapkan dalam situasi masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian – bagian masalah tersebut dan dikembangkan secara bertahap
2.                  Nyata (kontekstual)
Matematika realistis harus memungkinkan peserta didik dapat menerapkan pemahaman matematika dan perkakas /alat matematikannya untuk memecahkan masalah. Hanya dalam pemecahan masalah peserta didik dapat mengembangkan alat matematis dan pemahaman matematis.




3.                  Bertahap
Belajar matematika artinya peserta didik harus melalui berbagai tahapan  pemahaman, yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal yang berhubungan dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap hubungan langsung dan pembuatan bagan.
4.                  Saling menjalin (keterkaitan)
Hal ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya antar topik – topik seperti kesadaran akan bilangan, mental aritmetika, perkiraan (estimasi) dan algoritma.
5.                  Interaksi
Dalam matematika realistik belajar matematika dipandang sebagai kegiatan sosial. Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan bagi para peserta didik untuk saling berbagi dan strategi dan penemuan mereka. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan temuan ini, peserta didik mendapat ide untuk memperbaiki strateginya.
6.                  Bimbingan
Pengajar maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting dalam mengarahkan peserta didik untuk memperoleh pengetahuan. Mereka mengendalikan proses pembelajaran yang lentur untuk menunjukkan apa yang harus dipelajari untuk menghindarkan pemahaman semu melalui proses hafalan. 

Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan metode Matematika realistik tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat desain pembelajarannya, sebagai pedoman umum sekaligus sebagai alat control dalam pelaksanannya. Pada intinya komponen pembelajaran matematika realistik dapat dilakukan dengan langkah – langkah berikut :
1.      Langkah pertama :
Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari – hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
2.      Langkah kedua
Menjelaskan masalah kontekstual yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru akan menjelaskan situasi dan kondisi sosial dengan cara meberikan petunjuk – petunjuk yang seperlunya saja.
3.      Langkah ketiga
Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individu atau kelompok mampu menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka masing – masing. Cara pemecahan masalah yang berbeda – beda lebih di utamakan .
4.      Langkah keempat
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan jawaban dari permasalahan kontekstual secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide – ide yang dimiliki.
5.      Langkah kelima
Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.

PEMBELAJARAN INDUKTIF


Pembelajaran induktif

Model pembelajaran induktif adalah sebuah pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan berpikir kritis. Pada model pembelajaran induktif guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang topik yang akan dipelajari siswa, selanjutnya guru membimbing siswa untuk menemukan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan tadi.
Model pembelajaran induktif dirancang berlandaskan teori konstruktivisme dalam belajar. Model ini membutuhkan guru yang terampil dalam bertanya (questioning) dalam penerapannya. Melalui pertanyaan-pertanyaan inilah guru akan membimbing siswa membangun pemahaman terhadap materi pelajaran dengan cara berpikir dan membangun ide. Tingkat keefektifan model pembelajaran induktif ini, jadinya-sangat tergantung pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan pembelajaran, dimana guru harus menjadi pembimbing yang akan untuk membuat siswaberpikir.

Struktur sosial dalam pembelajaran menjadi ciri lingkungan kelas yang sangat dibutuhkan untuk belajar melalui model pembelajaran induktif. Model pembelajaran induktif mensyaratkan sebuah lingkungan belajar yang mana di dalamnya siswa merasa bebas dan terlepas dari resiko takut dan malu saat memberikan pendapat, bertanya, membuat konklusi dan jawaban. Mereka harus bebas dari kritik tajam yang dapat menjatuhkan semangat belajar. Model ini dikembangkan atas dasar beberapa postulat sebagai berikut:

1. Kemampuan berpikir dapatdiajarkan

2. Berpikir merupakan suatu transaksi aktif antara individu dengan data.Artinya, dalam     seting kelas, bahan-bahan ajar merupakan sarana bagi siswa untuk mengembangkan operasi kognitif tertentu. Dalam seting tersebut, mana siswa belajar mengorganisasikan fakta ke dalam suatu sistem konsep,yaitu:
a. Saling menghubung-hubungkan data yang diperoleh satu sama lain serta membuat   kesimpulan berdasarkan hubungan-hubungantersebut
b. Menarik kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang telah diketahuinya dalam rangka membangun hipotesis,dan
c. Memprediksi dan menjelaskan suatu fenomena tertentu. Guru, dalam hal ini, dapat membantu proses internalisasi dan konseptualisasi berdasarkan informasi tersebut
3. Proses berpikir merupakan suatu urutan tahapan yang beraturan (lawful). Artinya, agar dapat menguasai keterampilan berpikir tertentu, prasyarat tertentu harus dikuasai terlebih dahulu, dan urutan tahapan ini tidak bisa dibalik. Oleh karenanya, konsep tahapan beraturan ini memerlukan strategi mengajar tertentu agar dapat mengendalikan tahapan-tahapantersebut.


1. ProsedurPembelajaran

Postulat yang diajukan Taba di atas menyatakan bahwa keterampilan berpikir harus diajarkan dengan menggunakan strategi khusus. Menurutnya, berpikir induktif melibatkan tiga tahapan dan karenanya ia mengembangkan tiga strategi cara mengajarkannya.
Taba mengidentifikasi tiga keterampilan berpikir induktif :

a. Konsep pembentukan (belajarkonsep)
Tahap ini mencakup tiga langkah utama: item daftar (lembar, konsep), kelompok barang yang sama secara bersama-sama, beserta label tersebut (dengan nama konsep).Langkah-langka :

1. Membuat daftarkonsep
.
2.Pengelompokkan konsep berdasarkan karakteristik yang sama
.
3. Pemberian label ataukategorisasi
.

 b. Interpretasi data
        Strategi kedua ini merupakan cara mengajarkan bagaimana menginterpretasi dan menyimpulkan data. Sama halnya dengan strategi pertama (pembentukan konsep), cara ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu.
Langkah-langkah:
1. mengidentifikasi dimensi-dimensi danhubungan-hubungannya.

2. menjelaskan dimensi-dimensi danhubungan-hubungannya
.
3. Membuat kesimpulan

c. Penerapan prinsip-prinsip

Strategi ini merupakan kelanjutan dari strategi pertama dan kedua. Setelah siswa dapat merumuskan suatu konsep, menginterpretasikan dan menyimpulkan data, selanjutnya mereka diharapkan dapat menerapkan suatu prinsip tertentu ke dalam suatu situasi permasalahan yang berbeda.. Atau siswa diharapkan dapat menerapkan suatu prinsip untuk menjelaskan suatu fenomenabaru
        Langkah-Langkah:
1. Membuat hipotesis, memprediksikonsekuensi
.
2. Menjelaskan teori yang mendukung hipotesis atauprediksi.

3. Mengujihipotesis/prediksi
.



2. Peran Guru Dalam Model Pembelajaran Induktif
Saat pembelajaran berlangsung dengan menggunakan model pembelajaran induktif, guru telah menyiapkan perangkat-perangkat yang akan membuat siswa beraktivitas dan mengobarkan semangat siswa untuk melakukan observasi terhadap ilustrasi-ilustrasi yang diberikan, melalui pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Sekali lagi, diingatkan, bahwa model pembelajaran induktif memerlukan keterampilan bertanya yang bagus dari guru. Selain itu guru juga harusmenjaga siswa agar perhatian mereka tetap pada tugas belajar yang diberikan, dan selalu menunjukkan ekspektasi positif terhadap pencapaian hasil belajar siswa-siswanya.
Kesuksesan proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran induktif juga bergantung pada contoh-contoh /ilustrasi yang digunakan oleh guru serta kemampuan guru membimbing siswa untuk melakukan analisis terhadap contoh/ilustrasi yang diberikan.

3. Kelebihan Model PembelajaranInduktif
1.      Pada model pembelajaran induktif guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang topik yang akan dipelajari siswa, sehingga siswa mempunyai parameter dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
2.      Ketika siswa telah mempunyai gambaran umum tentang materi pembelajaran, guru membimbing siswa untuk menemukan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan tersebut sehingga pemerataan pemahaman siswa lebih luas dengan adanya pertanyaan-pertanyaan antara siswa denganguru
3.      Model pembelajaran induktif menjadi sangat efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam hal proses belajar karena proses Tanya jawab tersebut.

4. Kelemahan Model Pembelajaran Induktif
1. Model ini membutuhkan guru yang terampil dalam bertanya (questioning) sehingga kesuksesan pembelajaran hamper sepenuhnya ditentukan kemampuan guru dalam memberikanilustrasi-ilustrasi.
2. Tingkat keefektifan model pembelajaran induktif ini, jadinya-sangat tergantung pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan pembelajaran, dimana guru harus menjadi pembimbing yang akan untuk membuat siswaberpikir
3. Model pembelajaran ini sangat tergantung pada lingkungan eksternal, guru harus bisa menciptakan kondisi dan situasi belajar yang kondusif agar siswa merasa aman dan tak malu/takut mengeluarkan pendapatnya. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai secarasempurna
4. Saat pembelajaran berlangsung dengan menggunakan model pembelajaran induktif, guru harus telah menyiapkan perangkat-perangkat yang akan membuat siswa beraktivitas dan mengobarkan semangat siswa untuk melakukan observasi terhadap ilustrasi-ilustrasi yang diberikan, melalui pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Dengan metode ini maka kemandirian siswa tidak dapat berkembangoptimal.
5. Guru harus menjaga siswa agar perhatian mereka tetap pada tugas belajar yang diberikan, sehingga peran guru sangat vital dalam mengontrol proses belajar siswa.
6. Kesuksesan proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran induktif bergantung pada contoh-contoh atau ilustrasi yang digunakan oleh guru.
7. Pembelajaran tidak dapat berjalan bila guru dan muridnya tidak suka membaca, sehingga tidak mempunyai pilihan dalam proses induktif