Translate

Selasa, 20 Agustus 2013

Pembelajaran Matematika Realistik (RME)


Pendidikan matematika realistik  atau Realistic Mathematics Education (RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan kurang bermakna  bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld  dan Goffre  (1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal  (1977) tentang matematika. Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap
masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan.  Selain memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk “dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Freudental,1968). 
            Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya (Freudenthal, 1991).

            Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu.
            Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam matematika dapat dibedakan menjadi empat yaitu, mekanistik, empiristik, struturalistik, dan realistik.
            Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisonal dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalamn sendiri (diawali dari yang lebih sederhana sampai ke kompleks) dalam pendekatan ini siswa dianggap sebagai mesin.
            Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep – konsep matematika tidak diajarkan dan diharapkan siswa mampu menemukan melalui matematika horizontal. Pendekatan mekanis dan empiris tidak banyak diajarkan di lingkungan sekolah.
            Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang yang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
            Pendekatan realistik merupan pendekatan dengan menggunakan metode matematisasi horizontal dan vertikal dan mendekatan ini sebagai pangkal tolak pembelajaran.
            Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah metode pembelajaran matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Selanjutnya siswa diberi kesempatan mengpalikasikan konsep – konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari – hari atau dalam bidang yang lainnya. Pembelajaran ini sengat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah.
Ada tiga unsur prinsip utama dalam pembelajaran Matematika realistik yaitu : a) guided reinvention and progresive mathematizing , b) didactical phenomenology dan c) self – developed models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.                  Guided reinvention and progresive mathematizing (penemuan kembali terbimbing / pematematikaan progresif)
            Prinsip ini menghendaki bahwa dalam Pembelajaran Matematika realistik, dari masalah konstektual yang diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelasaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat – sifat dan rumus – rumus itu ditemukan. Prinsip ini mengacu pada pandangan konstruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru, melainkan dari siswa sendiri.

2.         Didactical phennomenology (fenomena pembelajaran)
            Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki          bahwa di dalam menentukan masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan metode pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua alasan, yaitu : a) untuk mengungkap berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, b) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah konstektual itu digunakan sebagai poin – poin untuk suatu proses pematematikaan progresif. Dari penjabaran di atas menunjukan bahwa prinsip ke 2 Pembelajaran matematika Realistik ini menekankan pada pentingnya masalah konstektual untuk memperkenalkan topik – topik matematika kepada siswa.

3.         Self development models ( model – model dibangun sendiri)
Menurut prinsip ketiga, model – model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan pengetahuan informal dan formal matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa diberi kebebasan untuk menemukan sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensinya sangat dimungkinkan mucul berbagai model matematika yang dibangun siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari penemuan ulang dan sekaligus menunjukan bahwa sifat bottom up( dari bawah ke atas) mulai terjadi. Model – model tersebut diharapkan untuk mampu mengubah kepada bentuk matematika yang formal. 
Pembelajaran Matematika Realistis mencerminkan pandangan matematika tertentu mengenai bagaimana anak belajar matematika dan bagiamana matematika harus diajarkan. Pandangan ini tercermin dalam enam karakteristik yaitu : kegiatan, nyata, bertahap, saling menjalin, interaksi, dan bimbingan.
1.                  Kegiatan
Peserta didik harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam proses pengembangan seluruh perangkat perkakas dan wawasan matematis sendiri. Dalam hal ini peserta didik dihadapkan dalam situasi masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian – bagian masalah tersebut dan dikembangkan secara bertahap
2.                  Nyata (kontekstual)
Matematika realistis harus memungkinkan peserta didik dapat menerapkan pemahaman matematika dan perkakas /alat matematikannya untuk memecahkan masalah. Hanya dalam pemecahan masalah peserta didik dapat mengembangkan alat matematis dan pemahaman matematis.




3.                  Bertahap
Belajar matematika artinya peserta didik harus melalui berbagai tahapan  pemahaman, yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal yang berhubungan dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap hubungan langsung dan pembuatan bagan.
4.                  Saling menjalin (keterkaitan)
Hal ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya antar topik – topik seperti kesadaran akan bilangan, mental aritmetika, perkiraan (estimasi) dan algoritma.
5.                  Interaksi
Dalam matematika realistik belajar matematika dipandang sebagai kegiatan sosial. Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan bagi para peserta didik untuk saling berbagi dan strategi dan penemuan mereka. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan temuan ini, peserta didik mendapat ide untuk memperbaiki strateginya.
6.                  Bimbingan
Pengajar maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting dalam mengarahkan peserta didik untuk memperoleh pengetahuan. Mereka mengendalikan proses pembelajaran yang lentur untuk menunjukkan apa yang harus dipelajari untuk menghindarkan pemahaman semu melalui proses hafalan. 

Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan metode Matematika realistik tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat desain pembelajarannya, sebagai pedoman umum sekaligus sebagai alat control dalam pelaksanannya. Pada intinya komponen pembelajaran matematika realistik dapat dilakukan dengan langkah – langkah berikut :
1.      Langkah pertama :
Memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari – hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
2.      Langkah kedua
Menjelaskan masalah kontekstual yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru akan menjelaskan situasi dan kondisi sosial dengan cara meberikan petunjuk – petunjuk yang seperlunya saja.
3.      Langkah ketiga
Menyelesaikan masalah kontekstual, yaitu siswa secara individu atau kelompok mampu menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka masing – masing. Cara pemecahan masalah yang berbeda – beda lebih di utamakan .
4.      Langkah keempat
Membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan jawaban dari permasalahan kontekstual secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide – ide yang dimiliki.
5.      Langkah kelima
Menyimpulkan, yaitu guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar