Translate

Kamis, 25 Februari 2016

Ideologi dan Teori Perry


Ideologi dan Teori Perry
            Ideologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu edios yang artinya gagasan atau konsep dan logos yang berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan dan kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis. Ideologi merupakan pedoman yang dipakai oleh seluruh kelompok sebagai dasar cita-cita, nilai dasar dan keyakinan yang dijunjung tinggi.
Terdapat beberapa pendapat mengenai ideologi, diantaranya adalah pendapat dari Raymond William yang menyatakan bahwa ideologi adalah himpunan ide-ide yang muncul dari seperangkat kepentingan tertentu atau secara lebih luas dari sebuah kelas atau kelompok tertentu. Sedangkan Karl Max menyebutkan bahwa adalah Idiologi merupakan  alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahretaan bersama masyarakat.
Ciri-ciri ideologi adalah sebagai berikut:
a.       Mempunyai derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan kenegaraan
b.      Mewujudkan suatu asas kerohanian, pandangan dunia, pedoman hidup yang dipelihara, diamalkan, dilestarikan kepada generasi berikutnya, diperjuangkan dan dipertahankan dengan kesediaan berkorban.
Fungsi ideologi menurut beberapa pendapat ahli:
a.       Sebagai sarana untuk memformulasikan dan mengisi kehidupan manusia secara individual (Cahyono, 1986)
b.      Sebagai jembatan pergeseran kendali kekuasaan dari generasi tua (founding fathers) dengan generasi muda (Setiardja, 2001)
c.       Sebagai kekuatan yang mampu memberi semangat dan motivasi individu, masyarakat, dan bangsa untuk menjalani kehidupan dalam mencapai tujuan (Hidayat, 2001)
Beberapa pemahaman mengenai ideologi tercakup pada teori Perry.





2.2 Ideologi Pendidikan Matematika
            Filsafat Pendidikan Matematika meliputi beberapa masalah inti pendidikan matematika mengenai ideologi, landasan, dan tujuannya. Dalam perspektif yang lebih umum, dapat dikatakan bahwa filosofi pendidikan matematika bertujuan  menjelaskan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang status dan dasar objek dan metode pendidikan matematika.
            Ideologi pendidikan matematika mengemukakan tentang bagaimana pendidikan matematika dapat diimplementasikan baik secara radikal, konservatif, liberal ,dan demokrasi. Dasar pendidikan matematika menyediakan pembenaran mendapatkan status dan dasar dalam kasus ontologi, epistemologi dan aksiologi.
            Matematika terdiri dari ide-ide pemikiran yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Sedangkan matematika sekolah lebih menekankan pada Matematika sebagai kegiatan mencari pola dan hubungan. Matematika adalah kegiatan kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan; Matematika sebagai sarana pemecahan masalah. Matematika sebagai sarana mengkomunikasikan informasi atau ide.

2.3 Tujuan Pendidikan Matematika
            Tujuan pendidikan matematika harus konsisten dengan tujuan pendidikan dan harus saling mempengaruhi satu sama lain. Tujuan pendidikan matematika adalah membantu siswa untuk dapat menyadari, memahami, menilai, memanfaatkan, dan menerapkan matematika dalam masyarakat baik kehidupan pribadi , sosial, dan profesional (Niss, 1983, di Ernest, 1991). Oleh karena itu, kurikulum harus didasarkan pada rancangan untuk membantu siswa dalam pengembangan diri dan kemandiria dimana kehidupan siswa sebagai titik awal perencanaan pendidikan; dan aktualisasi pengetahuan adalah bagian dari rancangan serta perubahan sosial adalah tujuan utama dari kurikulum (Ernest, 1991).
Terkait dengan sumber daya pengajaran, Ernest (1991) menyarankan bahwa sumber pembelajaran harus bersifat aktif, bervariasi dan sosial. Sehingga dalam teorinya bahan yang digunakan mempunyai tiga komponen utama yaitu penyediaan berbagai sumber daya pengajaran dapat memfasilitasi pendekatan mengajar yang aktif dan bervariasi, penyediaan bahan otentik, seperti surat kabar, data statistik dan sebagainya yang bersifat sosial yang dapat dipelajari dan investigasi, dan dapat memfasilitasi siswa untuk belajar mandiri.
            Her Majesty’s Inspectorate (1985) menyatakan bahwa tujuan mengajar matematika yaitu:
a.         Siswa-siswa harus memiliki pemahaman dan penghargaan terhadap sesuatu
b.        Matematika merupakan bagian penting dari komunikasi
c.         Matematika sebagai alat yang kuat
d.        Terdapat hubungan antara apresiasi dengan matematika
e.         Sadar akan pentingnya matematika
f.         Matematika melibatkan imajinasi, inisiatif, dan pemikiran yang fleksibel.
g.        Bekerja secara sistematis
h.        Bekerja secara kooperatif
i.          Siswa-siswa percaya akan kemampuan matematika mereka
Dalam garis-garis besar program pembelajaran (GBPP) matematika dewasa ini yang dipakai dikemukakan bahwa tujuan umum diberikannya matematika dijenjang pendidikan dasar dan pendidikan umum adalah:
•      Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan kedalam kemidupan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis. Cermat, jujur, efektif dan efisien.
•      Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola piker matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan.

Sedangkan dalam GBPP matematika yang khusus dalam pendidikan dasar yang dewasa ini dipakai dikemukakan bahwa Tujuan khusus pengajaran matematika disekolah dasar (SD) adalah:
•           Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan) sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari.
•           Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan, melalui kegiatan matematika.
•           Mengumbangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP).
•           Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin.

Selanjutnya tujuan khusus pengajaran matematika di sekolah tingkat lanjutan pertama adalah:
•      Memiliki kemampuan siswa, yang dapat dialihgunakan, melalui kegiatan matematika.
•      Memiliki pengetahuan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan ke pendidikan menengah.
•      Mempunyai keterampilan matematika sebagai peningkatan dan perluasan dari matematika sekolah dasar untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
•      Mempunyai pandangan yang cukup luas dan memiliki sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin serta menghargai kegunaan matematika.

2.4 Pandangan Matematika Netral dan Bebas Nilai
Filsafat matematika muncul ketika kita meminta pertanggungjawaban akan kebenaran matematika. Oleh karena itu, filsafat matematika merupakan pandangan yang memberikan gambaran penting dan menerangkan secara tepat bagaimanakah seseorang dapat mengerjakan matematika. Perbedaan filsafat matematika yang dianut akan menyebabkan perbedaan praktik dan hasil pendidikan matematika. Implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika merupakan implikasi dari kesadaran akan pentingnya refleksi kegiatan matematika melalui kajian matematika dan pendidikan matematika pada berbagai dimensinya.
Secara umum diakui bahwa isi dan metode matematika formal, karena hakikatnya, membuat matematika menjadi abstrak, umum, formal, objektif, rasional, dan teoretis. Ini adalah hakikat ilmu pengetahuan dan matematika. Dengan pendekatan ini kaum absolutis membangun matematika formal yang dianggapnya sebagai netral dan bebas nilai (Shirley, 1986). Hal-hal yang terikat dengan implikasi sosial dan nilai-nilai yang menyertainya, secara eksplisit, dihilangkannya.
Para absolutis teguh pendiriannya dalam memandang secara objektif kenetralan matematika formal. Tetapi dalam kenyataannya, nilai-nilai yang terkandung dalam hal-hal tersebut di atas, membuat masalah-masalah tidak dapat dipecahkan. Hal ini disebabkan karena mendasarkan hal-hal yang bersifat formal saja hanya dapat menjangkau pada pembahasan bagian luar dari matematika itu sendiri. Matematika yang dipromosikan itu sendiri secara implisit sebetulnya mengandung nilai-nilai. Abstrak adalah suatu nilai terhadap konkret, formal suatu nilai terhadap informal, objektif terhadap subjektif, pembenaran terhadap penemuan, rasionalitas terhadap intuisi, penalaran terhadap emosi, hal-hal umum terhadap hal-hal khusus, teori terhadap praktik, kerja dengan pikiran terhadap kerja dengan tangan, dan seterusnya.
Jika berkehendak menerima kritik yang ada, sebetulnya pandangan mereka tentang matematika formal yang netral dan bebas nilai juga merupakan suatu nilai yang melekat pada diri mereka dan sulit untuk dilihat. Kaum social constructivits memandang bahwa matematika merupakan karya cipta manusia melalui kurun waktu tertentu. Semua perbedaan pengetahuan yang dihasilkan merupakan kreativitas manusia yang saling terkait dengan hakikat dan sejarahnya. Akibatnya, matematika dipandang sebagai suatu ilmu pengetahuan yang terikat dengan budaya dan nilai penciptanya dalam konteks budayanya.
Sejarah matematika adalah sejarah pembentukannya, tidak hanya yang berhubungan dengan pengungkapan kebenaran, tetapi meliputi permasalahan yang muncul, pengertian, pernyataan, bukti dan teori yang dicipta, yang terkomunikasikan dan mengalami reformulasi oleh individu-individu atau suatu kelompok dengan berbagai kepentingannya. Pandangan demikian memberi konsekuensi bahwa sejarah matematika perlu direvisi. Dengan demikian, pemikiran kaum social constructivist mengarah kepada kebutuhan matematika material.
Kaum absolutis berpendapat bahwa suatu penemuan belumlah merupakan matematika dan matematika modern merupakan hasil yang tak terhindarkan. Namun, bagi kaum ‘social constructivist’ matematika modern bukanlah suatu hasil yang tak terhindarkan, melainkan merupakan evolusi hasil budaya manusia. Joseph (1987) menunjukkan betapa banyaknya tradisi dan penelitian pengembangan matematika berangkat dari pusat peradaban dan kebudayaan manusia. Sejarah matematika perlu menunjuk matematika, filsafat, keadaan sosial dan politik yang bagaimanakah yang telah mendorong atau menghambat perkembangan matematika. Sebagai contoh, Henry dalam Ernest (1991: 34) mengakui bahwa calculus dicipta pada masa Descartes, tetapi dia tidak suka menyebutkannya karena ketidaksetujuannya terhadap pendekatan infinitas.
Restivo, MacKenzie dan Richards dalam Ernest (1991 : 203) menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara matematika dengan keadaan sosial; sejarah sosial matematika lebih tergantung kepada kedudukan sosial dan kepentingan pelaku dari pada kepada objektivitas dan kriteria rasionalitasnya. Kaum social constructivist berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan merupakan karya cipta. Kelompok ini juga memandang bahwa semua pengetahuan memiliki landasan yang sama, yaitu ‘kesepakatan’. Baik dalam hal asal-usul maupun pembenaran landasannya, pengetahuan manusia memiliki landasan yang merupakan kesatuan, dan oleh karena itu semua bidang ilmu pengetahuan manusia saling terikat satu dengan yang lain. Akibatnya, sesuai dengan pandangan kaum social constructivist, matematika tidak dapat dikembangkan jika tanpa terkait dengan pengetahuan lain, dan yang secara bersama-sama memunyai akarnya.
Dengan sendirinya matematika tidak terbebaskan dari nilai-nilai dari bidang pengetahuan yang diakui karena masing-masing terhubung olehnya. Karena matematika terkait dengan semua pengetahuan diri manusia (subjektif), jelaslah bahwa matematika tidak bersifat netral dan bebas nilai. Dengan demikian matematika memerlukan landasan sosial bagi perkembangannya (Davis dan Hers dalam Ernest 1991 : 277-279). Dengan demikian hakikat mempelajari matematika adalah mempertemukan pengetahuan subjektif dan objektif matematika melalui interaksi sosial untuk menguji dan merepresentasikan pengetahuan-pengetahuan baru yang telah diperolehnya.
Di dalam usahanya untuk memperoleh atau mempelajari pengetahuan objektif matematika, siswa mungkin perlu mengembangkan prosedur, misalnya : mengikuti langkah yang dibuat orang lain, membuat langkah secara informal, menentukan langkah awal, menggunakan langkah yang telah dikembangkan, mendefinisikan langkah sehingga dapat dipahami orang lain, membandingkan berbagai langkah, dan menyesuaikan langkah.
Melalui langkah-langkah demikian, siswa akan memperoleh konsep matematika yang telah teraktualisasi dalam dirinya sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan matematikanya bersifat subjektif. Namun, dalam beberapa hal, pengetahuan subjektif matematikanya belum tentu sesuai dengan pengetahuan objektifnya. Untuk mengetahui apakah pengetahuan subjektif matematikanya telah sesuai dengan pengetahuan objektifnya, siswa perlu diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan publikasi.
Kegiatan publikasi matematika dalam praktiknya dapat berupa tugas-tugas yang diberikan oleh guru, pekerjaan rumah, membuat makalah, atau pun mengikuti ujian. Interaksi sosial di antara para siswa dan guru akan dapat memberikan kegiatan kritisisasi untuk pembetulan konsep-konsep sehingga siswa akan memperoleh perbaikan konsep, dan akhirnya pengetahuan subjektif matematikanya telah sama dengan pengetahuan objektifnya. Hubungan antara pengetahuan objektif dan pengetahuan subjektif matematika dan langkah-langkah implementasi pendidikan karakter dalam pendidikan matematika dapat diturunkan dari konsep yang diadaptasi dari Ernest.P (1991) sebagai berikut.
Bebas nilai merupakan salah satu tema yang terus diperdebatkan dalam filsafat ilmu. Bila diawal perkembangannya, terdapat hubungan yang erat antara teori dan praxis (mempertautkan pengetahuan dan kepentingan), paham ini kemudian secara perlahan mulai tergeser, dengan munculnya kajian-kajian dari perspektif filsafat yang mendasarkan dirinya pada rasionalitas dan empirisme.
Para absolutis teguh pendiriannya dalam memandang secara objektif kenetralan matematika, walaupun matematika yang dipromosikan itu sendiri secara implisit mengandung nilai-nilai. Abstrak adalah suatu nilai terhadap konkrit, formal suatu nilai terhadap informal, objektif terhadap subjektif, pembenaran terhadap penemuan, rasionalitas terhadap intuisi, penalaran terhadap emosi, hal-hal umum terhadap hal-hal khusus, teori terhadap praktik, kerja dengan fikiran terhadap kerja dengan tangan, dan seterusnya. Setelah mendaftar macam-macam nilai di atas maka pertanyaannya adalah, bagaimana matematisi berpendapat bahwa matematika adalah netral dan bebas nilai ? Jawaban dari kaum absolutis adalah bahwa nilai yang mereka maksud adalah nilai yang melekat pada diri mereka yang berupa kultur, jadi bukan nilai yang melekat secara implisist pada matematika. Diakui bahwa isi dan metode matematika, karena hakekatnya, membuat matematika menjadi abstrak, umum, formal, obyektif, rasional, dan teoritis. Ini adalah hakekat ilmu pengetahuan dan matematika. Tidak ada yang salah bagi yang kongkrit, informal, subyektif, khusus, atau penemuan; mereka hanya tidak termasuk dalam sains, dan tentunya tidak termasuk di dalam matematika (Popper, 1979 dalam Ernest, 1991: 132).
Yang ingin ditandaskan di sini adalah bahwa pandangan kaum absolutis, secara sadar maupun tak sadar, telah merasuk ke dalam matematika melalui definisi-definisi. Dengan perkataan lain, kaum absolutis berpendapat bahwa segala sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai di atas dapat diterima dan yang tidak sesuai tidak dapat diterima. Pernyataan-pernyataan matematika dan bukti-buktinya, yang merupakan hasil dari matematika formal, dipandang dapat melegitimasikan matematika. Sementara, penemuan-penemuan matematika, hasil kerja para matematisi dan proses yang bersifat informal dipandang tidak demikian. Dengan pendekatan ini kaum absolutis membangun matematika yang dianggapnya sebagai netral dan bebas nilai. Dengan pendekatan ini mereka menetapkan kriteria apa yang dapat diterima dan tidak diterima. Hal-hal yang terikat dengan implikasi sosial dan nilai-nilai yang menyertainya, secara eksplisit, dihilangkannya. Tetapi dalam kenyataannya, nilai-nilai yang terkandung dalam hal-hal tersebut di atas, membuat masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan. Hal ini disebabkan karena mendasarkan pada hal-hal yang bersifat formal saja hanya dapat menjangkau pada pembahasan bagian luar dari matematika itu sendiri.
Jika mereka berkehendak menerima kritik yang ada, sebetulnya pandangan mereka tentang matematika yang netral dan bebas nilai juga merupakan suatu nilai yang melekat pada diri mereka dan sulit untuk dilihatnya. Dengan demikian akan muncul pertanyaan berikutnya, siapa yang tertarik dengan pendapatnya ? Inggris dan negara-negara Barat pada umumnya, diperintah oleh kaum laki-laki berkulit putih dari kelas atas. Keadaan demikian mempengaruhi struktur sosial para matematisi di kampus-kampus suatu Universitas, yang kebanyakan didominasi oleh mereka. Nilai-nilai mereka secara sadar dan tak sadar terjabarkan dalam pengembangan matematika sebagai bagian dari usaha dominasi sosial. Oleh karena itu agak janggal kiranya bahwa matematika bersifat netral dan bebas nilai, sementara matematika telah menjadi alat suatu kelompok sosial. Mereka mengunggulkan pria di atas wanita, kulit putih di atas kulit hitam, masyarakat strata menengah di atas strata bawah, untuk kriteria keberhasilan penguasaan pencapaian akademik matematikanya.
Suatu kritik mengatakan, untuk suatu kelompok tertentu, misalnya kelompok kulit putih dari strata atas, mungkin dapat dianggap matematika sebagai netral dan bebas nilai. Namun kritik demikian menghadapi beberapa masalah. Pertama, terdapat premis bahwa matematika bersifat netral. Kedua, terdapat pandangan yang tersembunyi bahwa pengajaran matematika juga dianggap netral. Di muka telah ditunjukkan bahwa setiap pembelajaran adalah terikat dengan nilai-nilai. Ketiga, ada anggapan bahwa keterlibatan berbagai kelompok masyarakat beserta nilainya dalam matematika adalah konsekuensi logisnya. Dan yang terakhir, sejarah menunjukkan bahwa matematika pernah merupakan alat suatu kelompok masyarakat tertentu.
2.5 Pandangan Matematika Nilai Laden dan Kultur-Bound
Kaum ‘social constructivits’ memandang bahwa matematika merupakan karya cipta manusia melalui kurun waktu tertentu. Semua perbedaan pengetahuan yang dihasilkan merupakan kreativitas manusia yang saling terkait dengan hakekat dan sejarahnya. Akibatnya, matematika dipandang sebagai suatu ilmu pengetahuan yang terikat dengan budaya dan nilai penciptanya dalam konteks budayanya.Sejarah matematika adalah sejarah pembentukannya, tidak hanya yang berhubungan dengan pengungkapan kebenaran, tetapi meliputi permasalahan yang muncul, pengertian, pernyataan, bukti dan teori yang dicipta, yang terkomunikasikan dan mengalami reformulasi oleh individu-individu atau suatu kelompok dengan berbagai kepentingannya. Pandangan demikian memberi konsekuensi bahwa sejarah matematika perlu direvisi.
Kaum absolutis berpendapat bahwa suatu penemuan belumlah merupakan matematika dan matematika modern merupakan hasil yang tak terhindarkan. Ini perlu pembetulan. Bagi kaum ‘social constructivist’ matematika modern bukanlah suatu hasil yang tak terhindarkan, melainkan merupakan evolusi hasil budaya manusia. Joseph (1987) menunjukkan betapa banyaknya tradisi dan penelitian pengembangan matematika berangkat dari pusat peradaban dan kebudayaan manusia. Sejarah matematika perlu menunjuk matematika, filsafat, keadaan sosial dan politik yang bagaimana yang telah mendorong atau menghambat perkembangan matematika. Sebagai contoh, Henry (1971) dalam Ernest (1991: 34) mengakui bahwa calculus dicipta pada masa Descartes, tetapi dia tidak suka menyebutkannya karena ketidaksetujuannya terhadap pendekatan infinitas. Restivo (1985:40), MacKenzie (1981: 53) dan Richards (1980, 1989) dalam Ernest (1991 : 203) menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara matematika dengan keadaan sosial; sejarah sosial matematika lebih tergantung kepada kedudukan sosial dan kepentingan pelaku dari pada kepada obyektivitas dan kriteria rasionalitasnya. Kaum ‘social constructivist’ berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan merupakan karya cipta. Kelompok ini juga memandang bahwa semua pengetahuan mempunyai landasan yang sama yaitu ‘kesepakatan’. Baik dalam hal asal-usul maupun pembenaran landasannya, pengetahuan manusia mempunyai landasan yang merupakan kesatuan, dan oleh karena itu semua bidang ilmu pengetahuan manusia saling terikat satu dengan yang lain. Akibatnya, sesuai dengan pandangan kaum ‘social constructivist’, matematika tidak dapat dikembangkan jika tanpa terkait dengan pengetahuan lain, dan yang secara bersama-sama mempunyai akarnya, yang dengan sendirinya tidak terbebaskan dari nilai-nilai dari bidang pengetahuan yang diakuinya, karena masing-masing terhubung olehnya.
Karena matematika terkait dengan semua pengetahuan dari diri manusia, maka jelaslah bahwa matematika tidaklah bersifat netral dan bebas nilai. Dengan demikian matematika memerlukan landasan sosial bagi perkembangannya (Davis dan Hers, 1988: 70 dalam Ernest 1991 : 277-279). Shirley (1986: 34) menjelaskan bahwa matematika dapat digolongkan menjadi formal dan informal, terapan dan murni. Berdasarkan pembagian ini, kita dapat membagi kegiatan matematika menjadi 4 (empat) macam, di mana masing-masing mempunyai ciri yang berbeda-beda:
a. matematika formal-murni, termasuk matematika yang dikembangkan pada Universitas dan matematika yang diajarkan di sekolah;
b. matematika formal-terapan, yaitu yang dikembangkan dalam pendidikan maupun di luar, seperti seorang ahli statistik yang bekerja di industri.
c. matematika informal-murni, yaitu matematika yang dikembangkan di luar institusi kependidikan; mungkin melekat pada budaya matematika murni.
d. matematika informal-terapan, yaitu matematika yang digunakan dalam segala kehidupan sehari-hari, termasuk kerajinan, kerja kantor dan perdagangan.

Dowling dalam Ernest (1991: 93), berdasar rekomendasi dari Foucault dan Bernstein, mengembangkan berbagai macam konteks kegiatan matematika. Dia membagi satu dimensi model menjadi 4 (empat) macam yaitu : Production (kreativitas), Recontextualization (pandangan guru dan dasar-dasar kependidikan), Reproduction (kegiatan di kelas) dan Operationalization (penggunaan matematika). Dimensi kedua dari pengembangannya memuat 4 (empat) macam yaoitu: Academic (pada pendidikan tinggi), School (konteks sekolah), Work (kerja) dan Popular (konsumen dan masyarakat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar